Selasa, 07 Juli 2015

Tartib Al-Qur'an

I.       Pendahuluan
Al-qur’an merupakan kitab suci umat islam yang sangat mulia. Kitab yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, sebagai pedoman umat islam di penjuru dunia, karena al-qur’an memiliki banyak keistimewaa. Selain daripada itu dalam proses penyusunan al-Qur’an disusun secara bertahap, yaitu dimulai dari nabi Muhammad saw, hingga pada masa Utsman bin Affan yng berhasil mengumpulkan al-Qur’an sehingga menjadi mushaf al-qur’an, dimana al-qur’an yang hadir dihadapan dan sering kita baca adalah mushaf dari rasm usman yang telah disetujui oleh jumhur ulama sebagai mushaf yang tertib ayat dan surahnya berdasarkan apa yang ada pada masa Rosullulloh., tetapi banyak penyusunan surah dalam al-qur’an yang menimbulkan perbedaan dan memberikan kedudukan dalam setiap surah. Namun ada pula beberapa ulama yang berpendapat lain tentang susunan surah dalam mushaf ustmani tersebut. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan mushaf para salaf (para sahabat sebelum al-Qur’an ini dikumpulkan) dalam  hal  penertiban surah.
II.    Pembahasan
A.    Urutan ayat Al-Qur’an itu tauqifi atau Taufiqi
Al-Qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang panjang maupun yang pendek. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Qur’an.Surah adalah sejumlah ayat Quran yang mempunyai permulaan dan kesudahan.Tertib atau urutan ayat-ayat dalam Al-Qur’an adalah tauqifi dari rasulullah. Ada beberapa argumentasi yang menguatkan pendapat ini “
a.       Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah. Ini menunjukkan ayat-ayat bersifat tauqifi, sebab jika tertibnya dapat diubah, tentulah ayat-ayat ini tidak akan didukung oleh hadits-hadits tersebut.
b.      Imam As-Suyuti berkata: ijma’ dan nash banyak sekali yang menetapkan bahwa tertib ayat adalah tauqifi, yaitu berdasarkan petunjuk dari Nabi Muhammad saw. dari riwayat Huzairah bin al-Yamani mengatakan bahwa Rasulullah membaca surah al-A’raf dalam shalat magrib, Nasai meriwayatkan bahwa Rasulullah membaca surat al-Mukminun pada shalat subuh dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah membaca surat Qaf ketika Khutbah, riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwa penyusunan ayat-ayat Qur’an adalah tauqifi.[1]
Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. As-Suyuti, setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surah-surah tertentu mengemukakan: “Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.[2]

B.     Urutan Surat Al-Qur’an itu Tauqifi atau Taufiqi

Ada tiga pendapat ulama terkait persoalan ini, yaitu:
1.      Seluruh Tertib Surah dalam Al-Qur’an Bersifat Tauqifi
As-Suyuthi menyatakan bahwa pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok ulama, di antaranya al-Qadhi Abu Bakr dalam salah satu pendapatnya. Pendapat ini juga didukung oleh ulama kontemporer, Syaikh Manna’ al-Qaththan dan Syaikh Muhammad ‘Ali al-Hasan.
Menurut pendapat ini, tertib surah dalam Al-Qur’an seluruhnya bersifat tauqifi, diberitahu oleh Jibril kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan perintah Allah ta’ala. Ada beberapa argumentasi yang menguatkan pendapat ini:

a.       Tidak ada seorang pun shahabat yang menentang penyusunan Al-Qur’an sesuai tertib
mushhaf ‘Utsmani. Mereka semua sepakat untuk menerima mushhaf ‘Utsmani, sekaligus membakar mushhaf-mushhaf lain yang tidak sesuai dengan mushhaf ‘Utsmani. Seandainya tertib surah hanya ijtihadi, tentu mereka akan membiarkan adanya mushhaf-mushhaf lain.

b.      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca sebagian surah secara tertib pada saat
Shalat. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan al-mufashshal  dalam satu rakaat.

c.       Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, beliau berkata tentang Surah Bani Israa-il, al-
Kahf, Maryam, Thaha, dan al-Anbiya, “Sesungguhnya surah-surah ini termasuk yang diturunkan di Makkah, dan yang pertama-tama aku pelajari.” Beliau menyebutkan urutan surah-surah tersebut sebagaimana urutannya yang dikenal sekarang.
d.      al-Kirmani berkata, “Tertib surah seperti sekarang ini mengikuti tertib surah di sisi Allah
swt. di Lauh Mahfuzh. Dan Nabi saw. membaca ulang al-Qur’an di hadapan Jibril sekali setiap tahun saat mereka bertemu, dan beliau membaca ulang al-Qur’an di hadapan Jibril dua kali pada tahun wafatnya beliau, dan saat turun ayat terakhir, yaitu: وَاتَّقُوا يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى الله, Jibril memerintahkan Nabi untuk meletakkannya di antara ayat riba dan ayat utang.”

2.      Seluruh Tertib Surah dalam Al-Qur’an Bersifat Ijtihadi
Pendapat ini menyatakan bahwa tertib surah yang terdapat di mushhaf ‘Utsmani sekarang merupakan ijtihad dari para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in, bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada argumentasi yang mendukung pendapat ini:
Fakta bahwa tertib surah pada mushhaf yang dimiliki oleh sebagian shahabat berbeda dengan tertib surah pada mushhaf ‘Utsmani. Misalnya:  
a)      Mushaf Ali disusun berdasarkan tertib Nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian
Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzzammi, dan seterusnya hingga akhir surah Makki dan Madani.
b)      Dalam mushaf Ibn Mas’ud yang pertama ditulis adalah surah al-Baqarah, kemudian Nisa
dan kemudian Ali ‘Imran.[3]
c)      Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis adalah Fatihah, Baqarah, kemudian Nisa dan
kemudian Ali ‘Imran.[4]

3.      Sebagian Tertib Surah dalam Al-Qur’an Bersifat Tauqifi, dan Sebagian Lagi Ijtihadi
Yang mana ada riwayat-riwayat yang menunjukkan tertib (pengurutan) sebagian surat di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Telah datang riwayat yang menunjukkan bahwa tertib as-Sab’u ath-Thiwal, al-Hawaamiim(surat yang diawali dengan Haamiim), al-Mufashshal (surat-surat pendek), pada masa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup. Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda:
“Bacalah olehmu dua surat yang bercahaya; Al-Baqarah dan Ali Imran.”
Dan juga diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak tidur setiap malamnya menggabungkan (menempelkan) kedua telapak tangannya, kemudian meniupnya lalu membaca: al-Ikhlash dan al-Mu’awwidzatain (al-Falaq dan an-Naas). (HR. al-Bukhari) 
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:”Tertib sebagian surat-surat atau sebagian besarnya tidak mengahalanginya untuk disebut tauqifi.”dia berdalil dengan hadits dari al-Hafizh Ibn Hajar berikut ini, “Tertib sebagian surah, atau sebagian besarnya, tidak dapat ditolak bersifat tauqifi.” Untuk mendukung pendapatnya, beliau mengemukakan hadits Hudzaifah ats-Tsaqafi sebagai berikut,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami, ‘Telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb (bagian) dari Al-Qur’an, dan aku tidak ingin keluar sebelum menyelesaikannya.”
Kemudian kami bertanya kepada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Bagaimana kalian membagi bacaan Al-Qur’an?’ Mereka menjawab, ‘Kami membaginya menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan surah, tiga belas surah, dan bagian al-mufashshal dari Qaf sampai kami khatam. (Dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud).
Mengomentari hadits ini, Ibn Hajar berkata, “Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti dalam mushhaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Selanjutnya beliau berkata, “Dan mungkin juga tertib tersebut hanya pada bagian al-mufashshal saja, bukan yang lain.”
Menurut az-Zurqani, pendapat ketiga ini merupakan pendapat yang paling baik dan didukung oleh ulama-ulama terkemuka. Hal ini menurut beliau karena merangkum dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sebagian tertib surah memang bersifat tauqifi dan atsar dari Ibn ‘Abbas yang menunjukkan tertib sebagian surah yang lain bersifat ijtihadi.
Syaikh Manna’ al-Qaththan menyatakan bahwa pendapat yang kedua, yang menyatakan bahwa seluruh tertib surah berdasarkan ijtihad para shahabat, tidak bersandarkan pada suatu dalil. Ijtihad sebagian shahabat mengenai tertib surah dalam mushhaf mereka merupakan ikhtiar mereka sebelum Al-Qur’an dikumpulkan secara tertib. Dan ketika pada masa ‘Utsman, Al-Qur’an dikumpulkan dan ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada satu huruf, dan umat menyepakati pengumpulan tersebut, para shahabat tersebut meninggalkan mushhaf-mushhaf yang ada pada mereka. Seandainya tertib surah merupakan hasil ijtihad, tentu mereka akan tetap berpegang pada mushhafnya masing-masing.
Sedangkan mengenai pendapat ketiga, Syaikh Manna’ al-Qaththan menyatakan bahwa dalil-dalilnya hanya terdapat pada nash-nash yang menunjukkan tertib tauqifi, sedangkan yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil. Dan, ketetapan tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti yang selain itu merupakan hasil ijtihad.

C.    Mengenai surat Al-anfal dan At-Taubah

As-Suyuthi mengatakan tertib susunan surah Al-Qur’an itu tauqifi kecuali surah Al-Anfal dan At-Taubah, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas : “Aku bertanya kepada Utsman : ‘Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk katagori masani dan Bara’ah (At-Taubah) yang termasuk mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmaanirrahim, dan kamu pun meletakaannya pada as-sab’uth thiwaal (tujuh surat panjang) ?’.
Usman menjawab, “Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu dan mengatakan,  Letakkanlah ayat ini pada surah yang di dalamnya terdapat ayat ini dan ini.” Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di madinah. Sedang surah Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Surah Anfal serupa dengan surah yang turun dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah bara’ah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah adalah sebagian dari surah Anfal. Maka oleh karena itu aku gandengkan keduanya, dan aku tidak menuliskan di antara kedua surat tersebut:

بسم الله الرحمن الرحيم 
“Lalu aku menempatkannya di as-Sab’u ath-Thiwal.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasaai, Ibnu Hibban, dan al-Hakimrahimahumullah) 
Syaikh Manna al-Qaththan menanggapi mengenai hadis tentang surah al-Anfal dan Taubah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas di atas, isnadnya dalam setiap riwayat berkisar pada Yazid al Farsi yang oleh Bukhari dikategorikan dalam kelompok du'afa'. Di samping itu dalam hadits ini pun tedapat kerancuan mengenai penempatan basmalah pada permulaan surah, yang mengesankan seakan-akan Usman menetapkannya menurut pendapatnya sendiri dan meniadakannya juga menurut pendapatnya sendiri. Oleh karena itu dalam komentarnya terdapat hadis tersebut dalam musnad Imam Ahmad. Syaikh Ahmad Syakir, menyebutkan, "Hadis itu tak ada asal mulanya" paling jauh hadis itu hanya menunjukan ketidak tertiban kedua surah tersebut.

III. Kesimpulan
Dari keteangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tertib atau urutan ayat-ayat dalam Al-Qur’an adalah tauqifi dari nabi, antara lainTerdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah, Tertib atau urutan surah-surah dalam al-qur’an terdapat tiga kelompok pendapat ulama yaitu, Tauqifi  dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan oleh Malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Ijtihad para sahabat,. Dan Sebagian surat tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat.
As-Suyuthi mengatakan tertib susunan surah Al-Qur’an itu tauqifi kecuali surah Al-Anfal dan At-Taubah. Yang melakukan perubahan, penambahan, pengurangan ataupun pergantian hanyalah Allah SWT, namun apabila beberapa orang menyakini adanya perubahan kecil dalam al-Qur’an, keyakinan mereka tidak akan mencederai keseluruhan al-qur’an dan vasilitasnya yang sekarang ada ditangan kita.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Itqaan fii ‘Uluum al-Qur’an karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H)
Manaahil al-‘Irfaan fii ‘Uluum al-Qur’an karya Syaikh Muhammad ‘Abdul   ‘Azhim az-Zurqani (w. 1367 H)
 Mabaahits fii ‘Uluum al-Qur’an karya Syaikh Manna’ ibn Khalil al-Qaththan
(w. 1420 H)
 Al-Manaar fii ‘Uluum al-Qur’an Ma’a  Madkhal fii Ushuul al-Tafsiir wa Mashaadirih karya Syaikh Muhammad ‘Ali al-Hasan
Abu Furqan al-Banjary
Manna Khalil al-Qatthan,2006. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Lintera Antar Nusa,), hal. 208




[1] DR. Dawud Al-Athar, op.cit, hal. 176.
[2] Lihat al-Itqan, jilid II, Hal. 61
[3] Manna Khalil al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Lintera Antar Nusa, 2006), hlm. 208
[4] Ibid. h.152-153


Wallahu a'lam... Semoga bermanfaat... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar