Selasa, 07 Juli 2015

Nuzulul Qur'an Ala Sab'ati Ahrufin

I.       Pendahuluan
Banyak  dari pakar hadits yang meriwayatkan bahwasannya Rasulallah pernah menyatakan: Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Diantara banyak hadits mengenai itu, yang paling jelas ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Menurut Hadits Bukhari, ‘Umar bin Khattab ra. berkata: “pada suatu hari, semasa Rasulallah masih hidup, aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah al-Furqan. Aku mendengarkan baik-baik bacaannya. Tiba-tiba ia membacakan huruf yang tidak pernah dibaca oleh Rasulallah SAW kepadaku, sehingga hampir saja ia kuserang ketika ia sedang shalat. Akhirnya aku tunggu sampai ia mengucapkan salam. Setelah itu kutarik bajunya. Aku bertanya kepadanya: “siapakah yang membacakan surah itu kepadamu”? ia menjawab “Rasulallah yang membacakannya kepadaku” kukatakan: Engkau berdusta ! demi Allah Rasulullah tidak membacakan surah itu kepadaku seperti yang kudengar darimu”. Hisyam bin Hakim lalu kuseret menghadap Rasulullah dan aku bertanya : “ya Rasulullah, aku mendengar orang ini membaca surah al furqan dengan huruf- yang anda bacakan kepadaku, ketika anda membacakan surah al-furqan itu kepadaku’! Rasulullah menjawab: “hai umar lepaskan dia! Hai Hisyam bacalah” Hisyam lalu membaca surah alfurqan sebagaimana yang kudengar tadi. Kemudian Rasulullah menanggapinya: “demikian surah itu diturunkan”. Beliau melanjutkan : Al-Qur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf, kerena itu mana yang mudah dari al-Qur’an.
II.    Pembahasan
A.    Pengertian Sab’atu Ahrufin
Dalam kerangka etimologi, para ulama secara umum cenderung berpendapat bahwa kata “tujuh” dalam hadis tentang sab’atu ahrufin tersebut adalah arti tujuh yang sebenarnya, dan bukan arti kiasan. Artinya, tujuh adalah angka yang terletak antara andka enam dan delapan. Sedangkan kata ahruf secara lughawi adalah jamak dariharf yang antara lain berarti pinggir dari sesuatu, salah satu huruf hijaiyah, dan lain-lain.[1]


Sementara dalam ranah terminologi, Sab’atu ahrufin atau tujuh huruf memiliki variasi definisi dalam pandanganpara ulama. As-Suyuti mengatakan bahwa penafsiran ulama tentang makna hadis ini tidak kurang dari empat puluh pendapat.[2] Sedangkan Ibn Hayyan mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh hurufmenjadi tiga puluh lima pendapat”.[3]
B.     Hadist Yang Berbicara Tentang Sab’atu Ahrufin
Ada yang berpendapat bahwa qira’at tujuh identik dengan hadis Nabi Muhammad saw. yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf.[15] Adapun hadis-hadis yang menunjukkan hal ini adalah sebagai berikut:
قال رسول الله صلعم : أقرأني جبريل على حروف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدني حتى أنتهى إلى سبعة أحرف.
Rasulullah bersabda, “Malaikat Jibril telah membacakan [al-Qur’an] kepadaku atas beberapa huruf, lalu aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahnya bacaan tersebut, maka Jibril pun menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf [macam].”(HR. Bukhari Muslim).
قال رسول الله صلعم : إن هذا القرأن إنزل على سبعة إحرف فقرإوا ما تيسر منه .
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh  macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.” (HR. Bukhari Muslim)
Walaupun kenyataannya pendapat-pendapat tersebut saling tumpang tindih. Rekomendasi pendapat para ulama tersebut adalah seperti di bawah ini:
1.      Sab’atu ahrufin adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu
makna. Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar ulama. Dengan catatan, jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafaz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan apabila tidak terdapat perbedaan, maka Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja.
2.      Akan tetapi mereka juga berbeda pendapat dalam menentukan ketujuh bahasa tersebut.
Dijelaskan bahwa ketujuh bahasa-bahasa tersebut yaitu bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Menurut Abu Hatim as-Sijistani, Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad bin Bakar. Dan masih banyak pendapat yang lain mengenai ini.[4]
Ada satu kaum yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Qur’an diturunkan, dengan catatan bahwa kata-kata dalam al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa paling fasih di kalangan Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Adapun bahasa yang lain yang digunakan adalah bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, atau Yaman; maka secara keseluruhan Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini tentunya berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna, melainkan tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Qur’an. Abu ‘Ubaid berkata: “Yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam al-Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian lagi bahasa Huzail, Hawazin, Yaman, dan lain-lain.” Dan berkata pula: “Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam al-Qur’an.”[5]

3.      Sebagian lagi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujur huruf adalah tujuh
wajah, yaitu amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita)dan masal (perumpamaan). Atauamr. Nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amsal.
عن ابن مسعود عن النبي صلى الله عليه وسلم قا ل: كان الكتاب الاول ينزل من باب واحد, ونزل القرأن من سبعة أبواب, على سبعة أحرف: زجر وأر وحلال وحرام ومحكم ومتشابه وأمثال. (أخرجه الحاكم والبيهقي)
“Dari Ibn Mas’ud, Nabi berkata: ‘Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengna satu huruf. Sedang al-Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu: zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam,  mutasyabih, dan amsal.’”[6]
4.      Ada lagi sebagian ulama yang menawarkan definisi yang lain dari sab’atu ahrufin, yaitu
tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan) seperti berikut ini:[7]
a.       Ikhtilaful asma’ (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad, muzakkar, dan cabang-
cabangnya, seperti tsaniyah, jamak, dan ta’nis. Contohnya pada firman Allah:والذين هم لآماناتهم وعهدهم راعون , dibaca لأمانتهم dengan bentuk mufrad dan dibaca pula لآماناتهم dengan bentuk jamak. Sedangkan cantuman dalam mushaf adalah لأمنتهم , yang memungkinkan kedua qiraat tersebut “bekerja” karena tidak adanya alif yang disukun. Akan tetapi, kedua kesimpulan akhir dari kedua qiraat ini adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istiqraq (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedangkan bacaan dengan bentuk mufrad dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak, yakni semua jenis amanat yang mengandung variasi amanat yang plural.
b.      Perbedaan dari aspek i’rab (harakat akhir kata), seperti firman Allah: ما هذا بشرا. Jumhur
membacanya dengan nasab(accusative), karena ما  berfungsi seperti ليس , dan ini merupakan bahasa kaum Hijaz yang dalam bahasa inilah al-Qur’an diturunkan. Adapun Ibn Mas’ud membacanya denganrafa’ (nominative)  ما هذابشرٌ, sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak memfungsikan ما seperti ليس .
c.       Perbedaan dalam tashrif,
Perubahan kata kerja dari masa lampau (فعلٌ ما ضٍ) menjadi masa sekarang (فعل مضارعٌ) dan masa yang akan datang (فعل أمر)  sehingga pada kata باعد  dapat dibaca menjadi باعَدَ.
d.      Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan), baik terjadi pada
huruf (seperti pada firman-Nya أفَلَم ييأس dapat dibaca dengan أفلم يأيس).
e.       Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian) baik pergantian huruf dengan huruf, maupun
lafaz dengan lafaz. Seperti kata ننشزها dapat dibaca menjadi ننشرها.
f.        Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan, seperti وما عملته ايديهم menjadi وما عملت ايدهم.
g.      Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim(menebalkan) dan tarqiq (menipiskan), fatah dan
imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tashil, isymam, dan lain-lain. Contohnya bacaan imalah dan tidak imalah dalam ayatهل أتاك حديث موسى  yang dibaca dengan mengimalahkan kata أتي  dan مسى.
5.      Sebagian ulama berpendapat bahwa bilangan itu tidak diartikan secara harfiah (bukan
bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya lambang sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Oleh karena itu, kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang Arab. Kata tujuh tersebut tidaklah untuk menunjukkan bilangan tertentu.[8]
6.      Sebagian pendapat juga menafsirkan dengan tujuh ilmu, yaitu :
a)      ‘ilm al-itsbat wa al-ijad, seperti :ان فى خلق السموات والأرض  : sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi
b)      ilm al-tawhid wa al-tanjih, seperti :والهكم اله واحد  : dan tuhanmu adalah tuhan yang Esa
c)      ‘ilm sifat al-zat, seperti :ولله العزة  : dan bagi Allah kebanggaan
d)     ‘ilm sifat al-fi’l, seperti :واعبدواالله  : dan sembah kamulah Allah
e)      ‘ilm al-afw wa al-‘azab, seperti :ومن يغفر الذنوب الأالله  : dan siapakah yang mengampuni dosa melainkan Allah
f)       ‘ilm al-hasyr wa al-hisab, seperti : ان الساعةلأتية : sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang
g)      ‘ilm al-nubuwwat, seperti :رسلا مبشرين ومنذ رين  : beberapa rasul memberi kabar gembira dan kabar takut

III. Kesimpulan
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat memberi gambaran variasi pandangan para ulama dalam masalah ini. Masing-masing mengemukakan alasan untuk memperkuat pendapatnya, baik alasan nash maupun nalar atau ijtihad. Namun alasan yang mereka kemukakan pada intinya bertumpu pada ijtihad, karena hadits-hadits yang dikemukakan bersifat umum yang dapat menerima penafsiran.



Daftar Pustaka
Al-A’zami, M. M., The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Complication, Jakarta: Gema Insani Press, 2005
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahits fi Ulum al-Qur’an(terj.), Jakarta: Litera AntarNusa, 2007
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman, ‘Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu al-Qur’anMembahas Ilmu-Ilmu Pokok Dalam Menafsirkan al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010
As-Suyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (terj.), Surakarta: Indiva Pustaka, 2008
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010
As-Sindiy, Abdul Qayyum bin Abdul Ghofur, Shofahat fi Ulumil Qiroat, Beirut: Maktabah al-Imdariyah, 2001




[1] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 98
[2] Al-Itqan, jilid 1, hlm. 45
[3] Manna’ Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, hlm. 229
[4] Lihat al-Itqan, jilid I, hlm. 47
[5] al-Itqan, jilid I, hlm. 47
[6] Hadis riwayat Hakim dan Baihaqi
[7] Manna’ Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, lihat juga dalam Prof. Dr. Nashruddi Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 100
[8] Lihat juga al-Itqan, jilid I hal. 45


Wallahu a'lam... Semoga bermanfaat... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar