I.
Pendahuluan
Banyak
dari pakar hadits yang meriwayatkan bahwasannya Rasulallah pernah menyatakan:
Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Diantara banyak hadits mengenai itu,
yang paling jelas ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Menurut
Hadits Bukhari, ‘Umar bin Khattab ra. berkata: “pada suatu hari, semasa
Rasulallah masih hidup, aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah al-Furqan.
Aku mendengarkan baik-baik bacaannya. Tiba-tiba ia membacakan huruf yang tidak
pernah dibaca oleh Rasulallah SAW kepadaku, sehingga hampir saja ia kuserang
ketika ia sedang shalat. Akhirnya aku tunggu sampai ia mengucapkan salam.
Setelah itu kutarik bajunya. Aku bertanya kepadanya: “siapakah yang membacakan
surah itu kepadamu”? ia menjawab “Rasulallah yang membacakannya kepadaku”
kukatakan: Engkau berdusta ! demi Allah Rasulullah tidak membacakan surah itu
kepadaku seperti yang kudengar darimu”. Hisyam bin Hakim lalu kuseret menghadap
Rasulullah dan aku bertanya : “ya Rasulullah, aku mendengar orang ini membaca
surah al furqan dengan huruf- yang anda bacakan kepadaku, ketika anda
membacakan surah al-furqan itu kepadaku’! Rasulullah menjawab: “hai umar
lepaskan dia! Hai Hisyam bacalah” Hisyam lalu membaca surah alfurqan
sebagaimana yang kudengar tadi. Kemudian Rasulullah menanggapinya: “demikian
surah itu diturunkan”. Beliau melanjutkan : Al-Qur’an itu diturunkan dalam
tujuh huruf, kerena itu mana yang mudah dari al-Qur’an.
II.
Pembahasan
A.
Pengertian Sab’atu Ahrufin
Dalam kerangka etimologi, para ulama secara umum cenderung berpendapat
bahwa kata “tujuh” dalam hadis tentang sab’atu ahrufin tersebut
adalah arti tujuh yang sebenarnya, dan bukan arti kiasan. Artinya, tujuh adalah
angka yang terletak antara andka enam dan delapan. Sedangkan kata ahruf secara
lughawi adalah jamak dariharf yang antara lain berarti pinggir dari
sesuatu, salah satu huruf hijaiyah, dan lain-lain.[1]
Sementara dalam ranah terminologi, Sab’atu ahrufin atau
tujuh huruf memiliki variasi definisi dalam pandanganpara ulama.
As-Suyuti mengatakan bahwa penafsiran ulama tentang makna hadis ini tidak
kurang dari empat puluh pendapat.[2] Sedangkan
Ibn Hayyan mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh
hurufmenjadi tiga puluh lima pendapat”.[3]
B. Hadist Yang Berbicara Tentang Sab’atu Ahrufin
Ada yang berpendapat bahwa
qira’at tujuh identik dengan hadis Nabi Muhammad saw. yang menyatakan bahwa
al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf.[15] Adapun hadis-hadis yang menunjukkan
hal ini adalah sebagai berikut:
قال
رسول الله صلعم : أقرأني جبريل على حروف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدني حتى
أنتهى إلى سبعة أحرف.
Rasulullah bersabda,
“Malaikat Jibril telah membacakan [al-Qur’an] kepadaku atas beberapa huruf,
lalu aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahnya bacaan tersebut, maka
Jibril pun menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf [macam].”(HR.
Bukhari Muslim).
قال
رسول الله صلعم : إن هذا القرأن إنزل على سبعة إحرف فقرإوا ما تيسر منه .
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh
huruf (tujuh macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah
bagimu dari al-Qur’an.” (HR. Bukhari Muslim)
Walaupun kenyataannya pendapat-pendapat
tersebut saling tumpang tindih. Rekomendasi pendapat para ulama tersebut adalah
seperti di bawah ini:
1. Sab’atu
ahrufin adalah
tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu
makna. Pendapat ini adalah pendapat sebagian
besar ulama. Dengan catatan, jika bahasa mereka berbeda-beda dalam
mengungkapkan satu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafaz
sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan apabila
tidak terdapat perbedaan, maka Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih
saja.
2. Akan tetapi
mereka juga berbeda pendapat dalam menentukan ketujuh bahasa tersebut.
Dijelaskan bahwa ketujuh bahasa-bahasa tersebut
yaitu bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman.
Menurut Abu Hatim as-Sijistani, Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail,
Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad bin Bakar. Dan masih banyak pendapat
yang lain mengenai ini.[4]
Ada satu kaum yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Qur’an diturunkan, dengan catatan bahwa
kata-kata dalam al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam
bahasa tadi, yaitu bahasa paling fasih di kalangan Arab, meskipun sebagian
besarnya dalam bahasa Quraisy. Adapun bahasa yang lain yang digunakan adalah
bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, atau Yaman; maka secara
keseluruhan Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini tentunya
berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf
dalam pendapat ini bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam
makna, melainkan tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Qur’an. Abu
‘Ubaid berkata: “Yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh
bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam al-Qur’an. Sebagiannya
bahasa Quraisy, sebagian lagi bahasa Huzail, Hawazin, Yaman, dan lain-lain.”
Dan berkata pula: “Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan
dalam al-Qur’an.”[5]
3. Sebagian lagi menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan tujur huruf adalah tujuh
wajah, yaitu amr (perintah),
nahyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman),
jadal (perdebatan), qasas (cerita), dan masal (perumpamaan).
Atauamr. Nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amsal.
عن ابن مسعود عن النبي صلى الله عليه وسلم قا ل: كان
الكتاب الاول ينزل من باب واحد, ونزل القرأن من سبعة أبواب, على سبعة أحرف: زجر
وأر وحلال وحرام ومحكم ومتشابه وأمثال. (أخرجه الحاكم والبيهقي)
“Dari Ibn Mas’ud, Nabi
berkata: ‘Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengna satu
huruf. Sedang al-Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf,
yaitu: zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan
amsal.’”[6]
4. Ada lagi sebagian ulama
yang menawarkan definisi yang lain dari sab’atu ahrufin, yaitu
tujuh macam hal yang di
dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan) seperti berikut ini:[7]
a.
Ikhtilaful asma’ (perbedaan kata
benda): dalam bentuk mufrad, muzakkar, dan cabang-
cabangnya, seperti tsaniyah, jamak, dan ta’nis. Contohnya
pada firman Allah:والذين هم لآماناتهم وعهدهم راعون , dibaca لأمانتهم dengan bentuk mufrad dan dibaca pula لآماناتهم dengan bentuk jamak. Sedangkan cantuman dalam mushaf
adalah لأمنتهم , yang memungkinkan kedua qiraat tersebut “bekerja”
karena tidak adanya alif yang disukun. Akan tetapi, kedua
kesimpulan akhir dari kedua qiraat ini adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk
jamak dimaksudkan untuk arti istiqraq (keseluruhan) yang menunjukkan
jenis-jenisnya, sedangkan bacaan dengan bentuk mufrad dimaksudkan untuk jenis
yang menunjukkan makna banyak, yakni semua jenis amanat yang
mengandung variasi amanat yang plural.
b.
Perbedaan dari aspek i’rab (harakat
akhir kata), seperti firman Allah: ما هذا بشرا. Jumhur
membacanya dengan nasab(accusative),
karena ما berfungsi seperti ليس , dan ini merupakan bahasa kaum Hijaz yang dalam bahasa
inilah al-Qur’an diturunkan. Adapun Ibn Mas’ud membacanya denganrafa’ (nominative) ما هذابشرٌ, sesuai dengan bahasa Bani
Tamim, karena mereka tidak memfungsikan ما seperti ليس .
c.
Perbedaan dalam tashrif,
Perubahan kata kerja dari
masa lampau (فعلٌ
ما ضٍ) menjadi masa sekarang (فعل مضارعٌ) dan masa yang akan datang (فعل أمر) sehingga pada kata باعد dapat dibaca menjadi باعَدَ.
d.
Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan),
baik terjadi pada
huruf (seperti pada firman-Nya أفَلَم ييأس dapat dibaca dengan أفلم يأيس).
e.
Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian) baik pergantian
huruf dengan huruf, maupun
lafaz dengan lafaz. Seperti kata ننشزها dapat dibaca menjadi ننشرها.
f.
Perbedaan karena ada
penambahan dan pengurangan, seperti وما عملته ايديهم menjadi وما عملت ايدهم.
g.
Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim(menebalkan) dan tarqiq (menipiskan),
fatah dan
imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tashil, isymam, dan
lain-lain. Contohnya bacaan imalah dan tidak imalah dalam ayatهل أتاك حديث موسى yang dibaca dengan mengimalahkan kata أتي dan مسى.
5. Sebagian ulama berpendapat
bahwa bilangan itu tidak diartikan secara harfiah (bukan
bilangan antara enam dan
delapan), tetapi bilangan tersebut hanya lambang sebagai lambang kesempurnaan
menurut kebiasaan orang Arab. Oleh karena itu, kata tujuh adalah isyarat bahwa
bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan
semua orang Arab. Kata tujuh tersebut tidaklah untuk menunjukkan bilangan
tertentu.[8]
6. Sebagian pendapat juga menafsirkan
dengan tujuh ilmu, yaitu :
a)
‘ilm al-itsbat wa al-ijad, seperti :ان فى خلق السموات والأرض : sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi
b)
ilm al-tawhid wa al-tanjih, seperti :والهكم اله واحد : dan tuhanmu adalah tuhan yang Esa
c)
‘ilm sifat al-zat, seperti :ولله العزة
: dan bagi Allah kebanggaan
d)
‘ilm sifat al-fi’l, seperti :واعبدواالله
: dan sembah kamulah Allah
e)
‘ilm al-afw wa al-‘azab, seperti :ومن يغفر الذنوب الأالله : dan siapakah yang mengampuni dosa melainkan Allah
f)
‘ilm al-hasyr wa al-hisab, seperti : ان الساعةلأتية
: sesungguhnya
hari kiamat pasti akan datang
g)
‘ilm al-nubuwwat, seperti :رسلا مبشرين ومنذ رين
: beberapa
rasul memberi kabar gembira dan kabar takut
III. Kesimpulan
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat memberi gambaran variasi
pandangan para ulama dalam masalah ini. Masing-masing mengemukakan alasan untuk
memperkuat pendapatnya, baik alasan nash maupun nalar atau ijtihad. Namun
alasan yang mereka kemukakan pada intinya bertumpu pada ijtihad, karena
hadits-hadits yang dikemukakan bersifat umum yang dapat menerima penafsiran.
Daftar Pustaka
Al-A’zami, M. M., The
History of The Qur’anic Text: From Revelation to Complication, Jakarta:
Gema Insani Press, 2005
Al-Qattan, Manna’
Khalil, Mabahits fi Ulum al-Qur’an(terj.), Jakarta: Litera
AntarNusa, 2007
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman, ‘Ulumul
Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003
Ash-Shiddieqy, Tengku
Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Membahas Ilmu-Ilmu
Pokok Dalam Menafsirkan al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010
As-Suyuti,
Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (terj.), Surakarta:
Indiva Pustaka, 2008
Baidan, Nashruddin, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Goldziher, Ignaz, Mazhab
Tafsir, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010
As-Sindiy, Abdul Qayyum
bin Abdul Ghofur, Shofahat fi Ulumil Qiroat, Beirut: Maktabah
al-Imdariyah, 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar