Selasa, 07 Juli 2015

Qira'at

I.       Pembahasan
A.    Pengertian Qira’at
Qira’at adalah jamak dari qira’ah, artinya bacaan. Ia adalah masdar dari qara’a. Dalam istilah, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan al-Qur’an yang dipakai oleh seorang imam qurra’[1] sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.
Qira’at ini didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Periode qurra’ yang mengajarka bacaan al-Qur’an kepada orang orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at ialah Ubay, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in dari berbagi negeri belajar qira’at. Mereka semuanya itu bersandar kepada Rasulullah saw.
Adz-Dzahabi menyebutkan di dalam Thabaqat Al-Qurra’ sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira’at ada tujuh, yaitu Utsman, Ali, Ubay, Zaid bin Tsabit, Abu ad-Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ari. Lebih lanjut ia menjelaskan, mayoritas sahabat mempelajari qira’at dari Ubay. Di antaranya, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abdullah bin as-Sa’ib. Ibnu Abbas juga belajar kepada Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi’in di setiap negeri mempelajari qira’at.
Di antara para tabi’in tersebut ada yang tinggal di Madinah, seperti Ibnu Musayyab, Urwah, Salim, Umar bin Abdil Aziz, Sulaiman bin Yasar, Atha’ bin Yasar, Muadz bin Harits yang terkenal dengan Muadz al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al’A’raj, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundub, dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu Ubaid bin Umair, Atha’ bin Abi Rabah, Thawus, Mujahid, Ikrimah, dan Ibnu Abi Mulaikah.
Yang tinggal di Kuffah ialah al-Qamah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr bin Syurahbil, al-Harits bin Qais, Amr bin Maimun, Abu Abdirrahman as-Sulaimi, Said bin Jubair, an-Nakha’I, dan asy-Sya’bi.
Yang tinggal di Bashrah ialah Abu Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin Ashim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibnu Sirindan Qatadah.
Yang tinggal di Syam ialah al-Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumi (murid Utsman) dan khalifah bin Sa’ad (murid Abu Darda’).
Pada permulaan abad Hijriyah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang konsen terhadap masalah qira’at dengan sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka jadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang imam yang kemudian kepada merekalah qia’at dinisbatkan hingga sekarang ini.
Ketujuh imam qira’at yang terkenal sebagai ahli qira’at diseluruh penjuru dunia ialah Abu Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, al-Kisa’I, Ibnu Amir dan Ibnu Katsir.[2]
Sejumlah qira’at iyu bukanlah qira’at tujuh huruh, menurut pendapat yang paling kuat, walaupun dikesankan ada kesamaanpenyebutan jumlah bilangan diantara keduanya. Sebab qira’at hanya merupakan madzhab bacaan al-Qur’an para imam, yang secara ijma’ masih tetap ada dan masih digunakan oleh umat hingga sekarang ini. Dan yang menjadi sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya. Seperti tafkim, tarqiq, imalah, idhgham idzhar, isyba’, mad, qasr dan lain-lain.
B.     Tujuh Imam Qira’at dan Latar Belakangnya
Ada tujuh imam qira’at yang disepakati, tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qira’at yang qira’atnya dipandang shahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa’ al-Madani, Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam. Mereka (sepuluh imam) itulah yang terkenal dengan qira’at dengan imam qira’at ‘asyarah (qira’at sepuluh) yang diakui. Adapun qira’at diluar yang sepuluh ini dipandang sebagai qira’at syadz (cacat), seperti qira’at al-Yazidi, al-Hasan, al-A’masy, Ibnu az-Zubair, dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada satu pun dari qira’at sepuluh dan bahkan qira’at tujuh yang masyhur itu terlepas dari syadz, sebab di dalam sepuluh qira’at tersebut masih terdapat juga beberapa syadz sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan qurra’ yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama pada abad ketiga Hijriyah. Bila tidak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada permulaan abad kedua umat islam di Basrah memilih qira’at Ibnu Amr dan Ya’qub. Di Kuffah orang-orang memilih qira’at Hamzah dan Ashim. Di Syam mereka memilih qira’at Ibnu Amr. Sementara di Makkah mereka memilih qira’at Ibnu Katsir. Sedangkan di Madinah mereka memilih qira’at Nafi’. Mereka itulah tujuh imam qari’. Tetapi pada permulaan abad ketiga, Abu Bakar bin Mujahid[3] menetapkan nama al-Kisa’i dan membuang nama Ya’qub dari kelompok tujuh qari’ tersebut.
C.     Macam-Macam Qira’at dan Hukumnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir, ahad dan syadz. Menurut mereka, qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang tujuh. Qira’at ahad ialah tiga qira’at pelengkap menjadi sepuluh qira’at, ditambah qira’at para sahabat, selain itu dinamakn qira’at syadz. Ada yang berpendapat, bahwa kesepuluh qira’at tersebut mutawatir semua. Ada juga yang berpendapat  bahwa yang menjadi pegangan dalam hal ini adalah kaidah-kaidah tentang qira’at yag shahih, baik dalam qira’at tujuh, qira’at sepuluh maupun lainnya.
            Abu Syamah dalam Al-Mursyid Al-Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qira’at yang disandarkan kepada salah satu ahli qira’at dengan menyatakannya sebagai qira’at yang shahih dan seperti itulah qira’at tersebut diturunkan. Lain halnya kalau qira’at tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan sesuai kaidah. Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak seogyanya hanya menukil suatu qira’at yang dikatakannya berasal dari seorang imam tersebut, tanpa menukil qira’at lainnya, atau khusus hanya menukilkan semua qira’at yang berasal dari qurra’ lain. Cara demikian tidak mengeluarkan suatu qira’at dari keshahihannya. Sebab yang menjadi pedoman adalah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-syarat, bukan kepada siapa qira’at itu dinisbatkan, kepada setiap qari’ yang tujuh atau yang lain, sebab ada yang disepakati da nada pula yang dianggap syadz. Hanya saja karena popularitas qari’ yang tujuh dan banyaknya qira’at dan banyaknya qira’at mereka yang telah disepakati keshahihannya, maka jiwa merasa lebih tentram dan cenderung menerima qira’at yang berasal dari mereka melebihi qira’at yang lain.[4]
            Menurut ulama, syarat-syarat qira’at bisa dikatakan shahih adalah sebagai berikut.
1.      Kesesuaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dari satu segi, baik fasih maupun lebih fasih. Sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
2.      Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui.
3.      Qira’at itu isnadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan yang harus diikuti yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari suatu qira’at hanya karena qira’at tersebut itu dianggapmenyimpang dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at bertanggungjawab atas pengingkaran mereka itu.
Itulah beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat tersebut terpenuhi, maka qira’at tersebut dapat dikatakan qira’at yang shahih. Dan sebaliknya jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau batil.
Macam-macam Qira’at
a.       Mutawatir
Mutawatir yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah saw.
b.      Masyhur
Masyhur yaitu yang sanadnya shahih, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Utsmani dan juga terkenal di kalangan para ahli qira’at, sehingga karenanya tidak dikategorikan qira’at yang syadz atau salah. Para ulama menyebutkan bahwa  qira’at yang seperti ini bisa digunakan.
c.       Ahad
Ahad yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi menyalahi rasm Utsmani, menyalahi kaidah bahasa Arab, dan tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur yang telah disebutkan di atas. Qira’at yang semacam ini tidak dapat diamalkan bacaannya.
d.      Syadz
Yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يوم الدين (QS. al-Fatihah:4) dengan bentuk fiil madhi dan menashabkan يوم.
e.       Maudhu’
Yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.
f.       Mudarraj
Yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibnu Abbas,
}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4 فى مواسم الحج !#sŒÎ*sù OçFôÒsùr& ïÆÏiB ;M»sùttã (#rãà2øŒ$$sù ©!$# yYÏã ̍yèô±yJø9$# ÏQ#tysø9$# (
Dari surah al-Baqarah ayat 198 tesebut Ibnu Abbas menyisisipkan kalimat فى مواسم الحج.[5]
Menurut jumhur ulama, qira’at yang tujuh itu mutawatir. Dan yang selain mutawatir, seperti masyhur ini, tidak boleh dibaca di dalam mupun di luar shalat. Begitu juga Dari keempat qira’at yang terakhir tersebut tidak boleh diamalkan bacaannya.
An-Nawawi dalam syarh al-Muhadzdzab berkata “Qira’at syadz tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan al-Qur’an. Al-Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan qira’at syadz tidak termasuk mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah satu atau jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira’at syadz, maka tidak dibenarkan baik di dalam maupun di luar shalat. Para fuqaha Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at syadz maka ia harus bertaubat. Ibnu Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin tentang al-Qur’an yang tidak boleh dibaca dengan qira’at syadz dan tidak sah shalatnya orang yang makmum denganorang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at syadz”
Faedah keberagaman dalam qira’at yang shahih
Dari beberapa ragam qira’at shahih yang telah disebutkan di atas mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya sebagai berikut.
1.      Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan, padahal Kitab Allah mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2.      Meringankan umat islam dan memudahkan mereka dalam membaca al-Qur’an.
3.      Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna ijaznya, karena setiap qira’at menunjukkan suatu hukum syariat tertentu tanpa pelu mengulangi lafadz.
4.      Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih bersifat global dalam qira’at lain.

II.    Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan al-Qur’an yang dipakai oleh seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya. Ada tujuh imam qira’at yang terkenal sebagai ahli qira’at diseluruh penjuru dunia ialah Abu Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, al-Kisa’I, Ibnu Amir dan Ibnu Katsir.
Daftar Pustaka
Al-Aqqad, al-Falsafah al-Qur’aniyah
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an
Ismail al-Baghdadi, Hidayah al-‘Arifin
Al-Baqilani I’jaz al-Qur’an
Musthafa Shadiq ar-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an




[1] Qurra’ adalah jamak dari qari’, yang artinya orang yang membaca. Qari’ atau qurra’ ini sudah menjadi suatu istilah baku dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an, maksudnya yaitu seorang ulama’ atau imam yang terkenal mempunyai madzhab tertentu dalam suatu qira’ah yang mutawatir. Qurra’ bisa juga diartikan secara mudah sebagai para imam qira’at.
[2] Lihat al-Itqan, 1/72-73
[3] Ia adalah guru qira’at penduduk Iraq dan salah seorang yang menguasai qira’at, wafat 334 H
[4] Lihat al-Itqan, 1/75
[5] HR. Bukhori


Wallahu a'lam... Semoga bermanfaat... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar