I.
Pembahasan
A.
Pengertian
Qira’at
Qira’at adalah jamak
dari qira’ah, artinya bacaan. Ia adalah masdar dari qara’a. Dalam
istilah, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan al-Qur’an yang dipakai
oleh seorang imam qurra’[1]
sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.
Qira’at ini didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada
Rasulullah saw. Periode qurra’ yang mengajarka bacaan al-Qur’an kepada orang
orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa
para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at ialah
Ubay, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain.
Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in dari berbagi negeri belajar
qira’at. Mereka semuanya itu bersandar kepada Rasulullah saw.
Adz-Dzahabi
menyebutkan di dalam Thabaqat Al-Qurra’ sahabat yang terkenal sebagai
guru dan ahli qira’at ada tujuh, yaitu Utsman, Ali, Ubay, Zaid bin Tsabit, Abu
ad-Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ari. Lebih lanjut ia menjelaskan, mayoritas
sahabat mempelajari qira’at dari Ubay. Di antaranya, Abu Hurairah, Ibnu Abbas
dan Abdullah bin as-Sa’ib. Ibnu Abbas juga belajar kepada Zaid. Kemudian kepada
para sahabat itulah sejumlah besar tabi’in di setiap negeri mempelajari
qira’at.
Di antara para tabi’in tersebut ada yang tinggal di Madinah,
seperti Ibnu Musayyab, Urwah, Salim, Umar bin Abdil Aziz, Sulaiman bin Yasar,
Atha’ bin Yasar, Muadz bin Harits yang terkenal dengan Muadz al-Qari’,
Abdurrahman bin Hurmuz al’A’raj, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundub, dan
Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu Ubaid bin Umair, Atha’ bin Abi Rabah,
Thawus, Mujahid, Ikrimah, dan Ibnu Abi Mulaikah.
Yang tinggal di Kuffah ialah al-Qamah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah,
Amr bin Syurahbil, al-Harits bin Qais, Amr bin Maimun, Abu Abdirrahman
as-Sulaimi, Said bin Jubair, an-Nakha’I, dan asy-Sya’bi.
Yang tinggal di Bashrah ialah Abu Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin
Ashim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibnu Sirindan Qatadah.
Yang tinggal di Syam ialah al-Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumi
(murid Utsman) dan khalifah bin Sa’ad (murid Abu Darda’).
Pada permulaan abad Hijriyah di masa tabi’in, tampillah sejumlah
ulama yang konsen terhadap masalah qira’at dengan sempurna karena keadaan
menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri
sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya,
sehingga mereka jadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Bahkan
dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang imam yang
kemudian kepada merekalah qia’at dinisbatkan hingga sekarang ini.
Ketujuh imam qira’at yang terkenal sebagai ahli qira’at diseluruh
penjuru dunia ialah Abu Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, al-Kisa’I, Ibnu Amir dan Ibnu
Katsir.[2]
Sejumlah qira’at iyu bukanlah qira’at tujuh huruh, menurut pendapat
yang paling kuat, walaupun dikesankan ada kesamaanpenyebutan jumlah bilangan
diantara keduanya. Sebab qira’at hanya merupakan madzhab bacaan al-Qur’an para
imam, yang secara ijma’ masih tetap ada dan masih digunakan oleh umat hingga
sekarang ini. Dan yang menjadi sumbernya adalah perbedaan langgam, cara
pengucapan dan sifatnya. Seperti tafkim, tarqiq, imalah, idhgham idzhar,
isyba’, mad, qasr dan lain-lain.
B.
Tujuh
Imam Qira’at dan Latar Belakangnya
Ada tujuh imam qira’at yang disepakati, tetapi disamping itu para
ulama memilih pula tiga orang imam qira’at yang qira’atnya dipandang shahih dan
mutawatir. Mereka adalah Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa’ al-Madani, Ya’qub bin
Ishaq al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam. Mereka (sepuluh imam) itulah yang
terkenal dengan qira’at dengan imam qira’at ‘asyarah (qira’at sepuluh)
yang diakui. Adapun qira’at diluar yang sepuluh ini dipandang sebagai qira’at
syadz (cacat), seperti qira’at al-Yazidi, al-Hasan, al-A’masy, Ibnu az-Zubair,
dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada satu pun dari qira’at
sepuluh dan bahkan qira’at tujuh yang masyhur itu terlepas dari syadz, sebab di
dalam sepuluh qira’at tersebut masih terdapat juga beberapa syadz sekalipun
hanya sedikit.
Pemilihan qurra’ yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama pada abad
ketiga Hijriyah. Bila tidak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat
dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada permulaan abad
kedua umat islam di Basrah memilih qira’at Ibnu Amr dan Ya’qub. Di Kuffah
orang-orang memilih qira’at Hamzah dan Ashim. Di Syam mereka memilih qira’at
Ibnu Amr. Sementara di Makkah mereka memilih qira’at Ibnu Katsir. Sedangkan di
Madinah mereka memilih qira’at Nafi’. Mereka itulah tujuh imam qari’. Tetapi
pada permulaan abad ketiga, Abu Bakar bin Mujahid[3]
menetapkan nama al-Kisa’i dan membuang nama Ya’qub dari kelompok tujuh qari’
tersebut.
C.
Macam-Macam
Qira’at dan Hukumnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir,
ahad dan syadz. Menurut mereka, qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang
tujuh. Qira’at ahad ialah tiga qira’at pelengkap menjadi sepuluh qira’at,
ditambah qira’at para sahabat, selain itu dinamakn qira’at syadz. Ada yang
berpendapat, bahwa kesepuluh qira’at tersebut mutawatir semua. Ada juga yang
berpendapat bahwa yang menjadi pegangan
dalam hal ini adalah kaidah-kaidah tentang qira’at yag shahih, baik dalam
qira’at tujuh, qira’at sepuluh maupun lainnya.
Abu Syamah dalam
Al-Mursyid Al-Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap
qira’at yang disandarkan kepada salah satu ahli qira’at dengan menyatakannya
sebagai qira’at yang shahih dan seperti itulah qira’at tersebut diturunkan.
Lain halnya kalau qira’at tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan sesuai kaidah. Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak seogyanya
hanya menukil suatu qira’at yang dikatakannya berasal dari seorang imam
tersebut, tanpa menukil qira’at lainnya, atau khusus hanya menukilkan semua
qira’at yang berasal dari qurra’ lain. Cara demikian tidak mengeluarkan suatu
qira’at dari keshahihannya. Sebab yang menjadi pedoman adalah terpenuhinya
sifat-sifat atau syarat-syarat, bukan kepada siapa qira’at itu dinisbatkan,
kepada setiap qari’ yang tujuh atau yang lain, sebab ada yang disepakati da
nada pula yang dianggap syadz. Hanya saja karena popularitas qari’ yang tujuh
dan banyaknya qira’at dan banyaknya qira’at mereka yang telah disepakati
keshahihannya, maka jiwa merasa lebih tentram dan cenderung menerima qira’at
yang berasal dari mereka melebihi qira’at yang lain.[4]
Menurut ulama,
syarat-syarat qira’at bisa dikatakan shahih adalah sebagai berikut.
1.
Kesesuaian
qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dari satu segi, baik fasih
maupun lebih fasih. Sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima
apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
2.
Qira’at
sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun sekedar mendekati saja.
Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh
dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka
ketahui.
3.
Qira’at
itu isnadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan yang harus diikuti yang
didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab
mengingkari suatu qira’at hanya karena qira’at tersebut itu dianggapmenyimpang
dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at
bertanggungjawab atas pengingkaran mereka itu.
Itulah beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat
tersebut terpenuhi, maka qira’at tersebut dapat dikatakan qira’at yang shahih.
Dan sebaliknya jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka qira’at
itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau batil.
Macam-macam Qira’at
a.
Mutawatir
Mutawatir yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar perawi
yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga
penghabisannya, yakni Rasulullah saw.
b.
Masyhur
Masyhur yaitu yang sanadnya shahih, tetapi tidak mencapai derajat
mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Utsmani dan juga terkenal di
kalangan para ahli qira’at, sehingga karenanya tidak dikategorikan qira’at yang
syadz atau salah. Para ulama menyebutkan bahwa
qira’at yang seperti ini bisa digunakan.
c.
Ahad
Ahad yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi menyalahi rasm
Utsmani, menyalahi kaidah bahasa Arab, dan tidak terkenal seperti halnya
qira’at masyhur yang telah disebutkan di atas. Qira’at yang semacam ini tidak
dapat diamalkan bacaannya.
d.
Syadz
Yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ
يوم الدين (QS. al-Fatihah:4) dengan bentuk fiil madhi
dan menashabkan يوم.
e. Maudhu’
Yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.
f. Mudarraj
Yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at
sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibnu Abbas,
}§øs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4 فى مواسم الحج
!#sÎ*sù OçFôÒsùr& ïÆÏiB ;M»sùttã (#rãà2ø$$sù ©!$# yYÏã Ìyèô±yJø9$# ÏQ#tysø9$# (
Menurut jumhur ulama, qira’at yang tujuh itu mutawatir. Dan yang
selain mutawatir, seperti masyhur ini, tidak boleh dibaca di dalam mupun di
luar shalat. Begitu juga Dari keempat qira’at yang
terakhir tersebut tidak boleh diamalkan
bacaannya.
An-Nawawi dalam syarh al-Muhadzdzab berkata “Qira’at syadz tidak
boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan al-Qur’an.
Al-Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan qira’at syadz
tidak termasuk mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah satu atau
jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira’at
syadz, maka tidak dibenarkan baik di dalam maupun di luar shalat. Para fuqaha
Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at syadz maka ia
harus bertaubat. Ibnu Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin tentang
al-Qur’an yang tidak boleh dibaca dengan qira’at syadz dan tidak sah shalatnya
orang yang makmum denganorang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at syadz”
Faedah keberagaman dalam qira’at yang shahih
Dari beberapa ragam qira’at shahih yang telah disebutkan di atas
mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya sebagai berikut.
1.
Menunjukkan
betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan
penyimpangan, padahal Kitab Allah mempunyai sekian banyak segi bacaan yang
berbeda-beda.
2.
Meringankan
umat islam dan memudahkan mereka dalam membaca al-Qur’an.
3.
Bukti
kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna ijaznya, karena setiap qira’at
menunjukkan suatu hukum syariat tertentu tanpa pelu mengulangi lafadz.
4.
Penjelasan
terhadap apa yang mungkin masih bersifat global dalam qira’at lain.
II.
Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa qira’at adalah
salah satu madzhab pembacaan al-Qur’an yang dipakai oleh seorang imam qurra’
sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya. Ada tujuh imam
qira’at yang terkenal sebagai ahli qira’at diseluruh penjuru dunia ialah Abu
Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, al-Kisa’I, Ibnu Amir dan Ibnu Katsir.
Daftar Pustaka
Al-Aqqad, al-Falsafah al-Qur’aniyah
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an
Ismail al-Baghdadi, Hidayah al-‘Arifin
Al-Baqilani I’jaz al-Qur’an
Musthafa Shadiq ar-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an
[1] Qurra’ adalah
jamak dari qari’, yang artinya orang yang membaca. Qari’ atau qurra’ ini sudah
menjadi suatu istilah baku dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an, maksudnya yaitu
seorang ulama’ atau imam yang terkenal mempunyai madzhab tertentu dalam suatu
qira’ah yang mutawatir. Qurra’ bisa juga diartikan secara mudah sebagai para
imam qira’at.
[2]
Lihat al-Itqan, 1/72-73
[3] Ia
adalah guru qira’at penduduk Iraq dan salah seorang yang menguasai qira’at,
wafat 334 H
[4]
Lihat al-Itqan, 1/75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar