I.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu
diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah SWT kepada
Rasulullah, Muhammad SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap
menuju yang terang, serta membimbing mereka kejalan yang lurus.
Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan bahwa proses kodifikasi dan
penulisan Qur’an dapat menjamin kesuciannya secara meyakinkan. Qur’an ditulis
sejak Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi langsung
memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati.
Begitu mereka tulis, kemudian mereka hafalkan sekaligus mereka amalkan.
Pada awal pemerintahan khalifah yang pertama dari Khulafaur
Rasyidin, yaitu Abu Bakar Shiddiq, Qur’an telah dikumpulkan dalam mushhaf
tersendiri. Dan pada zaman khalifah yang ketiga, ‘Utsman bin ‘Affan, Qur’an
telah sempat diperbanyak. Alhamdulillah Qur’an yang asli itu sampai saat ini
masih ada.
II.
Pembahasan
1.
Ulumul Qur’an Pada Masa Nabi dan Sahabat
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya
wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti dijanjikan
Allah SWT dalam surat Al-Qiyamah ayat 17, sebagai berikut :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya.”
(Q.S. Al-Qiyamah:17).
Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya sangat mengetahui
makna-makna al-Qur’an dan ilmu-ilmunya, sebagaimana pengetahuan ulama
sesudahnya. Bahkan makna dan ilmu-ilmu al-Qur’an tersebut pada masa Rasulullah
dan para sahabatnya itu belum tertulis atau dibukukan dan belum disusun dalam
kitab. Sebab para sahabat merasa tidak perlu untuk menulis dan membukukan dalam
suatu kitab.
Hal ini disebabkan karena Rasulullah yang menerima wahyu dari sisi
Allah swt. juga mendapatkan rahmat-Nya yang berupa jaminan dari Allah bahwa
kalian pasti bisa mengumpulkan wahyu itu ke dalam dada beliau, dan Allah
melancarkan lisan beliau ketika membacanya, serta pandai untuk menjelaskan atau
menafsirkan isi maksudnya. Allah memberikan jaminan kepada beliau tentang
makna-makna dan rahasia-rahasia wahyu (al-Qur’an)
Setiap Rasulullah selesai meneima wahyu ayat al-Qur’an, beliau
membacakan kepada banyak orang dengan tekun dan tenang, sehingga mereka dapat
membacanya dengan baik, menghafal lafal-lafalnya dan mampu memahami arti dan
makna serta rahasia-rahasianya. Rasulullah saw. menjelaskan tafsiran-tafsiran
ayat al-Qur’an kepada mereka dengan sabda dan persetujuan beliau serta
akhlak-akhlak dan sifat beliau. Hal itu karena memang beliau diperintahkan oleh
Allah swt. menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan firman-Nya,
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar
kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[1]
dan supaya mereka memikirkan” (Q.S.An-Nahl: 44)
Para sahabat pada waktu itu sebagai
penduduk asli Arab murni mempunyai keistimewaan-keistimewaan arabiah yang
tinggi dan kelebihan lain yang lebih sempurna. Mereka mempunyai kekuatan
menghafal yang sangat hebat, otak yang cerdas, gaya tangkap yang tajam terhadap
keterangan dan dalam segala bentuk rangkaian dan susunan kalimat. Karena itu
mereka bisa mendapatkan ulumul Qur’an dan I’jaznya dengan pembawaan mereka dan
kecemerlangan akal pikiran mereka. Sekarang kita tidak akan bisa menemukan apa
yang telah diperoleh para sahabat dari Nabi, meski sekarang telah banyak
beredar beredar bermacam-macam ilmu. Karena itu, para sahabat tidak memelukan
pembukuan ulumul Qur’an. Hal ini jauh berbeda dengan zaman sekarang yang selalu
membutuhkan semua cabang ilmu dari ulumul Qur’a itu.
Meski
para sahabat waktu itu telah banyak mempunyai keistimewaan-keistimewaan sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, tetapi mereka hanyalah seorang manusiabiasa yang
ummi ( orang yang tidak pandai membaca dan menulis). Hal tersebut juga
dikarenakan pada waktu itu alat-alat tulis sulit ditemukan, belum ada kertas
dan pena. Rasulullah juga pernah melarang mereka menuliskan sesuatu selain dari
al-Qur’an. Hal ini sebagaiman sabda Rasulullah,
“Janganlah
kalian tulis dari padaku selain al-Qur’an, barang siapa menulis dariku selain
al-Qur’an maka hendaklah dihapus. Dan ceritakanlah dari padaku, maka tidak ada
larangan. Dan barang siapa yang berdusta atas saya dengan sengaja, maa
bersiap-siaplah bertempat di neraka.”[2]
Larangan tersebut dikeluarkan, disamping
karena dikhawatirkan terjadinya perbedaan antara al-Qur’an dan yang selain
al-Qur’an, juga dikhawatirkan tercampurnya antara al-Qur’an dan yang bukan
al-Qur’an, selama al-Qur’an masih turun.
Banyak
hal yang melatarbelakangi mengapa pada masa Rasulullah belum membutuhkan
pembukuan ulumul Qur’an, diantaranya yaitu :
a) Mereka
pendusuk asli Arab murni mempunyai banyak keistimewaan antara lain :
-
Mempunyai daya hafalan yang kuat.
-
Mempunyai otak yang cerdas.
-
Mempunyai daya tangkap yang tajam.
-
Mempunyai kemampuan yang luas dalam segala macam bentuk ungkapan,
kalimat, puisi syair, maupun sajak.
b) Mayoritas
orangnya ummi (tidak pandai membaca dan menulis) tetapi cerdas.
c) Ketika
mereka mendapati kesulitan, bisa langsung ditanyakan kepada Rasulullah saw.
d) Alat
tulis yang belum memadai.
e) Adanya
larangan oleh Rasulullah saw. untuk menulis segala sesuatu selain al-Qur’an.
2.
Perintis
Dasar Ulumul Qur’an dan Pembukuannya
a.
Perintis Dasar Ulumul Qur’an
Pada masa nabi
dan pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ilmu-ilmu Al-Qur’an belum dibukukan.
Karena umat islam belum memerlukan. Karena pada saat itu sahabat Nabi yang
mayorotas bangsa Arab Asli (Suku Qurais dan sebagainya) sehingga bisa memahami
dengan baik, karena bahas Al-Qur’an adalah bahasa mereka sendiri dan mereka
mengetahui sebab-sebab turunya al-Qur’an.
Perjuangan Umat
Islam tidak berhenti disitu, meskipun periode pertama berlalu, datanglah
periode pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Demi memperjuangkan dakwah islam
Khalifah Usman Bin Affan berusaha membukukan Al-Quran karena negara-negara
islam pun telah berkembang luas. Orng-orang Arab murni telah bercampur-bawur
dengan orang asing yang tidak mengenal bahasa arab. Semua itu menimbulkan
kecemasan akan luntur dan hilangnya keistimewaan orang-orang Arab murni.dan
banyak perselisihan antara kaum muslimin tentang Al-Qur’an.
Karena
kekawatiran itulah, Khalifah Usman Bin Affan memerintahkan kaum muslimin agar
seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar
dikumpulkan dalam satu mushhaf, kemudian dikenal Mushhaf Usman. Dengan usahanya
itu, berarti Khalifah Usman Bin Affan telah meletakkan dasar pertama, yang
dinamakan Ilmu Rasmil Qur’an atau Ilmu Rasmil Utsmani.
Pada
pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Tholib. Beliau memperhatikan orang-orang
asing yang suka menodai kemurnian bahasa Arab. Sebab, belaiau sering
mendengarkan sesuatu yang menimbulkan kerusakan bahasa Arab. Karena itu, beliau
memerintahkan Abul Aswad Ad-Duali untuk membua sebagian kaidah kaidah-kaidah
guna memelihara kemurnian bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an dari permainan
dan kerusakan orang-orang yang jahil. Abdul Aswad menulis pedoman-pedoman serta
aturan-aturan dalam bahasa Arab.dengan demikian, Kholifah Ali bi Abi Thalib
telah meletakkan dasar pertama terhadap ilmu, yang sekarang terkenal dengan
nama Ilmu Nahwu atau I’robil Qur’an.
Setelah Kholifah Ali, habislah masa
khulafaurrosidin dan datanglah pemerintahan Bani Umayyah, dalam masa ini
cita-cita para sahaat dan tabi’in besar ditunjukkan untuk menyebar luaskan
Ulumul Qur’an dengan riwayat dan pengajaran langsung, tidak dengan tulisan dan
pembukuan. Cita-cita dan semangat penyebaran mereka itu dapat dianggap sebagai
pendahulu dari pembukuan Ulumul Qur’an selanjutnya nanti.
Tokoh-tokoh penyebar Ulumul Qur’an dengan
riwayat adalah : Khalifah empat, dilanjutkan oleh Abbas, Ibnu Mas’ud , Zaid
Ibnu Tsabit, Abu musa Al-Asy’ari dan Abdulloh bin Zubair. Mereka inilah dari
kalangan Sahabat.
Tokoh-tokoh Ulumul Qur’an dari tabi’in yang
menyebar secara riwayat ialah:
-
Mujahid (wafat 103 H)
-
Atha’ bin Abu Rabah (wafat 114 H)
-
Ikrimah (wafat 105 H)
-
Qatadah bin Di’amah (wafat 118 H)
-
Al-hasan Al-Bashri (wafat110 H)
-
Said bin jubair (wafat 136 H)
-
Zaid bin Aslan (wafat 136 H)
Orang yang
mengambil riwayat dari Sa’id ini ialah Abdurrahman (putra beliau) dan
Malik Bin anas (dari tabi’it tabi’in)
Mereka dianggap sebagai peletak dasar
ilmu-ilmu, yang diberi nama ilmu tafsir, Ilmu Asbabun Nuzul, Ilmu Naskh
wal Mansukh, Ilmu Ghoribul Qur’an, dan lain-lain dari berbagai macam cabang
Ulumul Qur’an.
b. Pembukuan Tafsir Al-Qur’an
Setelah
dirintis dasar-dasar ulumul qur’an satu persatu seperti penjelasan tersebut
kemudian datanglah masa pembukuan/penulisan cabang ulumul Qu’an.
Akibatnya, bayak kitab ynag dikarang orang yang meliputi berbagai macam
cabang Ulumul Qur’an. Cita-cita yang pertama kali mereka bukukan adalah
Tafsir Al-Qu’an karena dianggap sangat penting dari induk dari ilmu-ilmu yang
lain. Orang yang pertama mengarang tafsir ialah Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160
H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), dan Waki’ bin jarroh (wafat 197 H) mereka
termasuk ulama abad ke-II. Tafsir yang mereka tulis adalah koleksi
pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in yang kebanyakan belum dicetak,
sehingga tidak sampai pada generasi sekarang.
Setelah mereka,
muncul Ibnu Jarir Ath-thabari (310 H) Yang mengarang Tafsir Ath-Thabari,
yang bernama Jaami’ul bayaan Fitafsiril Qur’an.
Tafsir
Ath-Thabari ini merupakan kitab tafsir yang paling besar dengan memakai metode
muqaran (kompertif). Sebab, beliau adalah dengan mengemukakan pendapat-pendapat
para ulama, dan membandingkan pendapat sebagian mereka dengan pendapat sebagian
yang lain. Beliau juga menerangkan segi i’rob dan istimbat hukumnya.
Para ulama
masih tetap mempunyai semangat dan minat yang besar terhadap tafsir Al-Qur’an
dari dahulu hingga sekarang ini. Banyak ditemukan karangan kitab –kitab tafsir,
baik yang besar bentuknya atau yang kecil-kecil. Dan ada yang mengagumkan
uraian dan susunannya, ada yang singkat dan ringkas, diantaranya, ada yang
memakai metode Tafsir Bil ma’tsur, yang hanya memakai sumber-sumber
penafsiran Atsar saja, ada yang memakai metode Tafsir Bir Ra’yi. Yang
dengan memakai sumber-sumber rakyu, dan ada pula yang memakai metode
campuran.antara lain yang menafsirkan ayat Al-Qur’an semuanya, ada yang
menafsirkan sebagian ayat saja, dan ada juga hanya menafsirkan satu surat. Ada
yang menafsirkan satu ayat atau beberapa ayat hukum dan lainya.
3.
Lahirnya
Istilah Ulumul Qur’an
Mengenai lahirnya Istilah Ulumul Qur’an
yang telah sistematis, ada beberapa pendapat para ulama, diantaranya sebagai
berikut.
a). Dr.Shubhi Ash-Shalih dalam bukunya Mabahits
Fi Ulumul Qur’an mengatakan istilah Ulumul Qur’ansudah ada pada mulai abad
ke-III H. Karena pada Abad ke-III ini Sudah ada kitab yang berjudul Al-hawi Fi
Ulumul Qur’an yang ditulis Imam Ibnu Marzuban (wafat)
b)Syekh Abdul Adhim Az-Zarqoni dalam kitabnya Manahilul
Irfan mengatakan bahwa istilah Ulumul Qur’an itu sudah ada pada abad ke-V
H.karena di abad ke-V telah ada karngan kitab yang berjudul Burhan Fi Ulumul
Qur’an yang terdiri dari 3o juz.
c) Jumhur Ulama dan para ahli sejarah Ulumul
Qur’an perpendirian, istilah Ulumul Qur’an yang mudawaman atau sistematis itu
ada pada abad ke-VII, sebabbaru akhir abad ke-VII baru ada yang memakai istilah
Ulumul Qur’an. Yaitu kitab Fununul Afnan Fi’ Ulumul Qur’an dan kitab
Al-mujtaba Fi Ulumin Tata Alaqu Bil Qur’an. Yang ditulis Abul Faraj
Ibnul Fauzi (597 H) karena dengan kitab tersebut sudah menyebar dan sudah
banyak dibaca orang.
d) Prof Dr.T.M. Hasbi Ash-Shidiqi dalam bukunya
menyebutkan bahwa istilah Ulumul Qur’an baru sejak abad ke-VII.ternyata
imam Al-Kafiji wafat 879 H orang pertama kali yang membukukan Ulumul
Qur’an.sebab pada abad itulah baru ada buku Ulumul Qur’anyang ditulis dan
dibukukan orang,sehingga barulah lahir istilah Ulumul Qur’an itu.
Tetapi banyak keterangan yang tidak sama
dengan diatas,mengenai kapan persisinya istilah Ulumul Qur’an yang sistematis
itu muncul.seperti pendapat As-Syuthi dalam pengantar kitab Al-Itqon, Ulumul
Qur’an muncul pada abad VII H. Oleh Abu Al-Faroj Bin Al-jauzi. Mengenai
pendapat Az-zarqani istilah Ulumul Qur’an mucul pada awal abad V H, melalui tangan
Al-hufi (w.430 H) dalam karyanya yang berjudul Al-Burhan Fi Ulumul
Qur’an.
III. Kesimpulan
Dari keterangan diatas bisa diambil kesimpulan,
kondisi Ulumul Qur’an pada masa Nabi dan Khalifah Abu Bakar dan Umar Bin
Khattab. Atau periode pertama para sahabat masih tetap menyampaikan Islam dan
ajaran-ajarannya, menyebarkan ilmu-ilmunya, serta mengmbangkan hadis. Semuanya
dilakukan dengan pengajaran lisan, bukan dengan tulisan atau pembukuan.
Daftar Pustaka
Ath-Thabrani, Mu’jam Kabir ath-Thabrani,
(Maktabah Ulum wa al-Hikam, 1983 H)
Imam
al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1410 H)
Al-Aqqad, al-Falsafah al-Qur’aniyah
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an
Imam Qashthalani, Mawahib Laduniyah, jld
1,(Beirut, Maktabah al-Islamy, 2004), hlm. 196
Imam
ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, jld 24,(Beirut, Dar ihya turats
Arabi, 1420), hlm. 457
Ismail al-Baghdadi, Hidayah al-‘Arifin
Ismail al-Baghdadi, Hidayah al-‘Arifin
Al-Baqilani I’jaz al-Qur’an
Musthafa Shadiq ar-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar