I.
Pendahuluan
Al-Qur’an
pun merupakan sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW sebagai bukti bahwa Nabi
Muhammad adalah benar-benar rasul yang diutus oleh Allah SWT. Rasullullah juga
pernah menantang orang-orang arab dengan Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa mereka dan mereka pun ahli dengan bahasa itu dan
retorikannya. Namun ternyata mereka tidak mampu membuat apa pun seperti
Al-Qur’an, atau membuat sepuluh surah saja, bahkan satu surah pun seperti
Al-Qur’an. Maka terbuktilah kemukjizatan Al-Qur’an dan terbukti pula kerasulan
Nabi Muhammad SAW.
II.
Pembahasan
A.
Periode
Rasulullah saw.
1.
Pengumpulan
Al-Quran dalam dada dengan Hafalan (Hifdzan).
Al-Qur'anul
Karim turun kepada Nabi yang ummy (tidak bisa baca-tulis).
Karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal dan
menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur'an persis sebagaimana halnya
Al-Qur'an yang diturunkan. Setelah itu ia membacakannya kepada orang-orang
dengan begitu terang agar merekapun dapat menghafal dan memantapkannya. Yang
jelas adalah bahwa Nabi seorang yang ummy dan diutus Allah di kalangan
orang-orang yang ummy pula, Allah berfirman:
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ft öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
“Dialah yang mengutus
kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka
kitab dan hikmah (as-sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.” (Al-Jumu'ah: 2)
Biasanya orang-orang yang ummy itu hanya
mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya, karena mereka tidak bisa membaca
dan menulis. Memang bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur'an, mereka berada
dalam budaya Arab yang begitu tinggi, ingatan mereka sangat kuat dan hafalannya
cepat serta daya fikirnya begitu terbuka.
Orang-orang
Arab banyak yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta
nasab keturunannya. Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepada, dan
mengetahui sejarahnya. Jarang sekali diantara mereka yang tidak bisa
mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut atau tidak hafal Al-Muallaqatul
Asyar yang begitu banyak syairnya lagi pula sulit dalam menghafalnya.
Begitu Al-Qur'an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan
kekuasaannya yang luhur, mereka merasa kagum, akal fikiran mereka tertimpa
dengan Al-Qur'an, sehingga perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur'an. Mereka
menghafalnya ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka tinggalkan syair-syair
karena merasa memperoleh ruh/jiwa dari Al-Qur'an.
Rasulullah dijuluki sebagai Jumma’ul Qur’an dengan makna Huffadzuhu (penghafal
al-Quran), hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an, tatkala beliau selalu
menggerakkan bibirnya, pada saat turunnya wahyu hingga allah menurunkan Wahyu,
agar belia u tidak khawatir akan hal tersebut, Allah berfirman:
w õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 @yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ ÇÊÏÈ ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ
“Janganlah engkau
Muhammad-karena hendak menghafal al-Quran yang diturunkan kepadamu dengan
cepat-menggerakkan lidahmu (sebelum selesai dibacakan kepadamu), sesungguhnya
kamilah yang berkuasa mengumpulkan al-Quran itu (di dadamu) dan menetapkan bacaannya
(pada lidahmu)”. (QS : Al-Qiyamah : 16-17)
Hal itu menjadikan para pembesar sahabat lebih mudah menghafal al-Quran,
dalam sejarah tercatat beberapa sahabat yang hafal al-Quran pada masa
Rasulullah. antara lain : Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim Ibnu Ma’qil Maula Abi
Hudzaifah, Muadz Ibnu Jabal, Ubay Ibn Ka’ab, Zaid Ibn Tsabit, Abu Zaid Ibn
Sakan, Abu al-Darda’.
2. Pengumpulan Al-Quran dengan penulisan (Kitabatan).
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur'anul Karim
ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai
beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur'an beliau
memerintahkan kepada mereka menulisnya, untuk memperkuat catatan dan
dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah 'Azza Wa Jalla,
sehingga penulisan tesebut dapat melahirkan hafalan dan memperkuat ingatan.
Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan
yang dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya
agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid
bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab; Muadz bin Jabal, Mu'awiyah bin Abi Sufyan,
Khulafaur Rasyidin dan Sahabat-sahabat lain.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata:
"Al-Qur'an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 (empat) orang yang
kesemuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit
dan Abu Zaid. Anas
ditanya: "Siapa ayah Zaid?" Ia menjawab: "Salah seorang
pamanku"[1]
Pada masa
Rasulullah sudah ada usaha-usaha menjaga keontetikan al-Qur’an, sudah beliau
lakukan dengan cara pencatatan. Hal ini terbukti beliau mengangkat beberapa
sahabat untuk menjadi juru tulis wahyu “al-Kuttab”di antara
al-Kuttab selain Khulafaul al-Rasyidin adalah : Mu’awiyah, Zaid Ibnu Tsabit,
Ubay Ibnu Ka’ab, Abdullah. Penulisannyapun
relatif sangat sederhana, media yang digunakannya antara lain , batu, tulang, kulit
binatang, pelepah kurma dan lain sebagainya.
B.
Periode
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Pada tahun 12
H, tepatnya pada kepemimpinan Khalifah Abu Bakar terjadilah
pemberontakan dari pembangkang pembayar zakat dan pemurtadan dibawah pimpinan
Musailamah al-Kadzzab, beliau mengutus Khalid Ibnul Walid untuk mengatasi
mereka ke Yamamah, dari peristiwa tersebut tak sedikit korban dari kaum muslim.
Bahkan tercatat 70 Huffadz (penghafal Al-Quran) sebagai syuhada. Hal ini
mendorong Umar Ibn al-Khatthab untuk menyarankan kepada Amirul Mukminin, untuk
segera mengumpulkan al-Quran dalam 1 Mushhaf. Setelah melewati berbagai
pertimbangan beliaupun setuju dan memanggil Zaid Ibn Tsabit untuk melaksanakan
hal ini.
1.
Sebab pengumpulan al-Qur’an
Ada beberapa
sebab yang mengharuskan pengumpulan Al-Qur’an di masa pemerintahan ABu Bakar ra
antara lain:
a.
Wafatnya Nabi Saw
Pengumpulan al-Qur’an
di era kenabian belum dirasa perlu mengingat Nabi masih hidup dan ada di tengah
sahabat. Sehingga setiap ada permasalahan para sahabat langsung bertanya kepada
Nabi Saw. Begitu pula Nabi yang ketika itu masih terus menerima wahyu dan
langsung menyampaikannya kepada sahabat. Dengan kapasitas beliau yang juga
bertugas sebagai kepala Negara, banyak hukum-hukum (hadist-hadist) yang beliau
perintahkan. Sehingga pengumpulan Qur’an setelah wafatnya beliau menjadi
prioritas utama di era pemerintahan Abu Bakar.
b.
Wahyu Tidak Turun Lagi
Sebab utama
Al-Qur’an belum disatukan menjadi satu buku utuh di masa Nabi, disebabkan wahyu
belum terputus. Dan belum merasa perlu dibukukan menginggat wahyu belum
seluruhnya turun.
Namun ketika
wafat, otomatis wahyu telah sempurna diturunkan dan Nabi pun telah memberi
arahan sebelumnya dari mulai penempatan surat-surat atau ayat-ayat. Maka
keharusan mengumpulkan wahyu dalam satu buku harus segera dilakukan agar umat
berikutnya, yang tidak menyaksikan wahyu terhindar dari kekeliruan.
c.
Banyak Para Qari (Hufaz/Penghafal Qur’an) Yang
Wafat
Terjadinya
perang Yamamah (11 H) yang banyak merenggut nyawa para Qari ini menjadi sebab
pula keharusan pembentukan komisi pengumpul Al-Qur’an secepat mungkin. Karena
pembukuan A-Qur’an ini harus didasarkan pada hafalan dan naskah-naskah
(manuskrip) di beberapa catatan sahabat.
Umar bin Khatab
ra ketika itu sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar
ra. dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an
karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak
membunuh para qari’.
Setelah berdiskusi panjang antara Abu Bakar dan
Umar bin Khatab, akhirnya Abu Bakar menerima pandangan Umar. Dan setuju untuk
membetuk tim penyusunan Al-Qur’an dan memilih Zain bin Tsabit sebagai kepala
tim.
Walaupun Zaid
Ibn Tsabit sudah hafal al-Qur’an secara keseluruhan, beliau sangat hati-hati
dalam melaksanakan tugas ini, setidaknya beliau berpegang teguh pada dua
prinsip, yaitu ayat–ayat al-Qur’an yang di tulis dihadapan Rasulullah, dan
disimpan di rumahnya, dan ayat- ayat yang dihafal oleh para Sahabat. Kemudian
mushaf tersebut disimpan oleh Abubakar, dan berpindah ke tangan Umar Ibn Al-Khatthab,
kemudian kepada Hafshah Binti Umar (Ummul Mukminin).
Zaid sangat
berhati-hati dalamm tugasnya seperti yang diceritakan dalam satu riwayat:
”Dan aku
dapatkan akhir surah At-Taubah pada Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak aku
dapatkan pada orang lain”
Riwayat ini
tidak menghilangkan arti hati-hati dan tidak pula berarti bahwa akhir surah
At-Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak
mendapat akhir surah Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu
Khuzaimah. Sedangkan Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak diantara para
sahabat yang menghafalnya.
Perkataan itu
lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan, jadi akhir surah Taubah
itu telah dihafal oleh banyak sahabat. Dan mereka menyaksikan ayat tersebut
dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Ansari.
2.
Sebab Terpilihnya Zaid Bin Tsabit Menjadi Ketua
Tim
Dalam
pengumpulan al-Qur’an, dipilihlah Zaid bin Tsabit. Dalam hal ini ada beberapa
sebab mengapa Zaid bin Tsabit ditunjuk sebagai ketua tim, antara lain sebagai
berikut.
a)
Ia masih muda dan penuh semangat sedangkan
pengumpulan Al-Qur’an adalah pekerjaan
berat. Yang memerlukan tenaga dari kalangan
muda dengan disiplin tinggidan etos kerja yang baik. Dan tampaknya Zaid pantas
menduduki jabatam ketua tim selain Ia dikenal cerdas, pintar dan jenius.
b)
Ia pun dikenal sebagai pemuda yang taat, baik
agamanya, amanah, professional, wara,
tidak memetingkan karir politik ataupun tidak
karena dunia
c)
Ia dikenal pula sebagai salah seorang pencatat
wahyu di masa Nabi Saw, bahkan beliau
sendiri
mendiktekan wahyu itu yang ditulis sendiri oleh Zaid bin Tsabit. Selain ia
seorang hafiz dan menyaksikan sendiri wahyu terakhir. Sehingga Abu Bakar
menjatuhkan pilihan kepala tim pengumpul Qur’an dipundak Zaid bin Tsabit.
3.
Metode Pengumpulan Al-Qur’an di Masa Abu Bakar
Setelah tim
pengumpulan Qur’an dibentuk dengan Zaid sebagai ketua tim dibantu 25 orang
sahabat lainnya, maka bekerjalah tim ini dengan menggunakan metode yaitu:
a.
Semua sahabat baik yang pernah menulis secara
pribadi harus diserahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk diteliti lebih lanjut
b.
Penyerahan buku catatan Al-Qur’an yang dimiliki
sahabat ketika diserahkan diharuskan memiliki 2 saksi yang bersumpah bahwa
memang catatan sahabat itu adalah Al-Qur’an. Bukti pertama adalah naskah
tertulis itua adalah Qur’an, bukti kedua adalah hafalan Qur’an dengan saksi
sahabat lainnya bahwa ia telah mendengarnya dari Nabi Saw.
C.
Periode
Khalifah Utsman Ra.
Hudzaifah
al-Yaman menyarankan kepada Amirul Mukminin untuk menyatukan perbedaan bacaan
di antara kaum muslimin, hal ini dimaksudkan agar tidak meyebabkan perbedaan di
antara kaum muslimin. Pada saat itu sudah mulai muncul fitnah
dikarenakan perbedaan dalam bacaan al-Qur’an, hal ini sebagaimana
yang ditegaskan oleh Abi Qulabah : ‘bahwa telah terjadi percekcokan dan
pertentangn antara kaum muda bahkan antara para pengajar al-Quran sendiri’.
Kejadian ini
terjadi tepat pada peperangan Armenia dan Azerbaijan di Iraq. Sayyidina Utsman
pun menyetujui saran tersebut, dan mengutus seorang utusan untuk meminta mushaf
al-Quran yang berada pada Sayyidatina Hafshah, dengan maksud sebagai rujukan
penyalinan mushaf. Kemudian beliau membentuk sebuah badan dalam penyalinan ini
yang beranggotakan empat orang Zaid Ibnu Tsabit al-Anshari, Abdullah
Ibn Zubair al-Asadi, Said Ibnu al-‘Ash al-Umawi, Abdurrahman Ibn al-Harist Ibnu Hisyam
al-Makhzumi, selain Zaid Ibn Tsabitsemuanya adalahbangsa
Quraisy. Alasan utama pemilihan ketiganya (Abdullah Ibn Zubair, Said Ibnu
al-‘Ash, Abdurrahman Ibn al-Harist) dari golongan Quraisy, adalah menjaga
kefasihan dialek Quraisy dalam penylinan Mushaf tersebut.
Setelah tim
tersebut selesai menyalin, maka mereka mengembalikan mushaf tersebut kepada
Hafshah, dan menyerahkan salinan–salinan tersebut untuk disebar luaskan ke
beberapa negara, antara lain Kufah, Bashrah, Syamdan yang
dipegangnya sendiri untuk di sampaikan ke Madinah). Kemudian beliau
memerintahkan semua mushaf selain yang disebarkan untuk dibakar, karena memang
pada saat itu ada beberapa mushaf yang terkenal selain mushaf yang ada pada
Sayyidatina Hafshah yaitu mushaf Ibnu Kaa’b dan Ibnu Mas’ud.
Langkah
yang dilakukan oleh Utsman ini sudah disepakati dan diterima oleh para sahabat,
sebagaimana ditegaskan oleh Sayyidina Ali r.a. dalam menanggapi sikap Ustman
r.a. beliau berkata : ‘janganlah kalian katakan apa yang dilakukan oleh
Ustman kecuali benar (khoiran)’.
III. Kesimpulan
Dari keterangan
di atas dapat disimpulkan bahwa Zaman Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih
banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat
Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa
baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang
mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan
sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau
tulang belikat unta. Al-Qur’an Karim ialah pengumpulan dan penulisannya
dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu.
Setiap turun ayat Al-Qur'an beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya,
untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap
kitab Allah 'Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tesebut dapat melahirkan hafalan
dan memperkuat ingatan.
Daftar Pustaka
Imam Qashthalani, Mawahib Laduniyah, jld
1,(Beirut, Maktabah al-Islamy, 2004), hlm. 196
Imam
ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, jld 24,(Beirut, Dar ihya turats
Arabi, 1420), hlm. 457
Ismail al-Baghdadi, Hidayah al-‘Arifin
Ath-Thabrani, Mu’jam Kabir ath-Thabrani,
(Maktabah Ulum wa al-Hikam, 1983 H)
Imam
al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1410 H)
Al-Baqilani I’jaz al-Qur’an
Musthafa
Shadiq ar-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an
Imam Qashthalani, Mawahib Laduniyah, jld
1,(Beirut, Maktabah al-Islamy, 2004), hlm. 196
Imam ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, jld
24,(Beirut, Dar ihya turats Arabi, 1420), hlm. 457
Al-Aqqad, al-Falsafah al-Qur’aniyah
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an
Imam Az-Zarqani, Manahilul Irfan,
(Kairo, Dar Hadits 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar