Rabu, 08 Juli 2015

Penulisan Al-Qur'an

I.     Pendahuluan
Al-Quran diturunkan Allah dalam bentuk lisan (bukan tertulis).  Karena Rasulullah tidak bisa membaca dan menulis, maka Rasul hanya mendengarkan secara seksama wahyu yang diturunkan lewat malaikat Jibril, lalu beliau hafal dan menyampaikan kembali wahyu Allah kepada para sahabatnya saat salat, mengajar dan menyemangati para sahabat untuk mempelajari dan menghafalkannya dengan menyebutkan hadist yang berbunyi sebaik-baiknya orang adalah yang mempelajari Al-Quran dan menyampaikannya, serta meminta para sahabat yang bisa membaca dan menulis untuk menuliskannya.
II.  Pembahasan
A.    Penulisan Al-Qur’an
1.      Tahap Pertama
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad saw. terhadap kedatangan wahyu tidak sengaja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara :
Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
Zaman Nabi Muhammad saw. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan, karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.[1]
2.      Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.
Saat Perang Yamamah (perang melawan nabi palsu, Musailamah Alkahzab) di mana banyak para penghafal Al Quran wafat, Umar bin Khatab khawatir jika para penghafal banyak yang wafat maka Al-Quran tidak bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Maka ia mengajukan usul penulisan seluruh ayat Al-Quran dalam satu buku,karena pada saat itu tidak ada satu sahabat pun yang mempunyai catatan semua ayat Al-Quran secara lengkap. Lalu ditunjuklah Zaid bin Tsabit sebagai ketua kodifikasi Al-Quran. Zaid dipilih karena ia lah pembaca Al-Quran terbaik, hafal semua ayat Quran, yang diminta oleh Rasul untuk menuliskan ayat Quran dan ia lah yang selalu hadir saat Rasul membaca seluruh ayat Al-Quran pada Ramadhan terakhir Rasulullah.
Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.[2]
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3.      Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.

Pada masa pemeintahan Ustman bin Affan, Islam telah menyebar ke berbagai negeri, seperti Kufah (Iraq), Byzantium, Syria, dll.  Karena Al-Quran yang dibacakan oleh Rasulullah terdiri dari 7 dialek, yaitu dialek suku Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yemen. Pada saat itu juga banyak orang Arab yang bangga dan merasa superior dengan dialeknya masing-masing, maka hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya perpecahan. Terlebih lagi banyak mualaf, terutama yang dari luar Arab,  yang ketika salah membaca Qur’an tidak bisa dideteksi kesalahannya: apakah memang karena salah baca atau apa karena baca dengan salah satu dari 7 dialek.
Seorang sahabat bernama Huzaifah bin al Yaman ketika ia berada di Iraq menyadari masalah ini. Ia khawatir akan terjadi perpecahan dan Al-Qur’an akan berubah. Lalu ia lapor kepada Khalifah Ustman bin Affan. Lalu Ustman membentuk tim yang juga diketuai oleh Zaid bin Tsabit dengan anggota 4 ahli Qur’an lalu menuliskan kembali Al-Qur’an dari mushaf yang ditulis pada jaman Abu Bakar yang saat itu disimpan oleh Hafsah, putri Umar bin Khatab dan juga istri Rasulullah, ke dalam dialek suku Quraisy yang merupakan dialek yang paling bagus.  Lalu tim ini menulis 7 salinan Al-Qur’an yang disebut Mushaf Ustman yang disebarkan ke 7 wilayah, yaitu: Madinah (ibu kota), Makkah, Syria, Basrah, Kufah, Yemen, Bahrayn. Ustman juga mengirim seorang ahli Qur’an dengan salinan Al-Qur’an tersebut ke wilayah-wilayah tersebut. Lalu ia memerinthkan untuk membakar semua kopi Al-Qur’an selain 7 salinan tersebut. Selanjutnya semua salinan Al-Qur’an berasal dari 7 salinan Mushaf Ustmani.
Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.

Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.[3]
Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.[4]
Mush’ab Ibn Sa’ad mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.[5]
Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.
Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.
III.    Kesimpulan
Dari Keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka masih menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
Pada masa Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Karena itu penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Daftar Pustaka
Manna Khalil Al-Qattan, (2011). Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
M. Amrullah, (2010). Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an. Diakses Pada Oktober 8, 2011, dari Scribd:http://www.scribd.com
Rosihon Anwar, (2010). Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Wikipedia. (2011). Al-Qur’an. Diakses Pada Oktober 8, 2011, Dari Wikipedia, Ensiklopedia Bebas:http://id.wikipedia.org




[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3] Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4] Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
[5] Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12


Wallahu a'lam... Semoga bermanfaat... 

Selasa, 07 Juli 2015

Qira'at

I.       Pembahasan
A.    Pengertian Qira’at
Qira’at adalah jamak dari qira’ah, artinya bacaan. Ia adalah masdar dari qara’a. Dalam istilah, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan al-Qur’an yang dipakai oleh seorang imam qurra’[1] sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.
Qira’at ini didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Periode qurra’ yang mengajarka bacaan al-Qur’an kepada orang orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at ialah Ubay, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in dari berbagi negeri belajar qira’at. Mereka semuanya itu bersandar kepada Rasulullah saw.
Adz-Dzahabi menyebutkan di dalam Thabaqat Al-Qurra’ sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira’at ada tujuh, yaitu Utsman, Ali, Ubay, Zaid bin Tsabit, Abu ad-Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ari. Lebih lanjut ia menjelaskan, mayoritas sahabat mempelajari qira’at dari Ubay. Di antaranya, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abdullah bin as-Sa’ib. Ibnu Abbas juga belajar kepada Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi’in di setiap negeri mempelajari qira’at.
Di antara para tabi’in tersebut ada yang tinggal di Madinah, seperti Ibnu Musayyab, Urwah, Salim, Umar bin Abdil Aziz, Sulaiman bin Yasar, Atha’ bin Yasar, Muadz bin Harits yang terkenal dengan Muadz al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al’A’raj, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundub, dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu Ubaid bin Umair, Atha’ bin Abi Rabah, Thawus, Mujahid, Ikrimah, dan Ibnu Abi Mulaikah.
Yang tinggal di Kuffah ialah al-Qamah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr bin Syurahbil, al-Harits bin Qais, Amr bin Maimun, Abu Abdirrahman as-Sulaimi, Said bin Jubair, an-Nakha’I, dan asy-Sya’bi.
Yang tinggal di Bashrah ialah Abu Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin Ashim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibnu Sirindan Qatadah.
Yang tinggal di Syam ialah al-Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumi (murid Utsman) dan khalifah bin Sa’ad (murid Abu Darda’).
Pada permulaan abad Hijriyah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang konsen terhadap masalah qira’at dengan sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka jadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang imam yang kemudian kepada merekalah qia’at dinisbatkan hingga sekarang ini.
Ketujuh imam qira’at yang terkenal sebagai ahli qira’at diseluruh penjuru dunia ialah Abu Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, al-Kisa’I, Ibnu Amir dan Ibnu Katsir.[2]
Sejumlah qira’at iyu bukanlah qira’at tujuh huruh, menurut pendapat yang paling kuat, walaupun dikesankan ada kesamaanpenyebutan jumlah bilangan diantara keduanya. Sebab qira’at hanya merupakan madzhab bacaan al-Qur’an para imam, yang secara ijma’ masih tetap ada dan masih digunakan oleh umat hingga sekarang ini. Dan yang menjadi sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya. Seperti tafkim, tarqiq, imalah, idhgham idzhar, isyba’, mad, qasr dan lain-lain.
B.     Tujuh Imam Qira’at dan Latar Belakangnya
Ada tujuh imam qira’at yang disepakati, tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qira’at yang qira’atnya dipandang shahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa’ al-Madani, Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam. Mereka (sepuluh imam) itulah yang terkenal dengan qira’at dengan imam qira’at ‘asyarah (qira’at sepuluh) yang diakui. Adapun qira’at diluar yang sepuluh ini dipandang sebagai qira’at syadz (cacat), seperti qira’at al-Yazidi, al-Hasan, al-A’masy, Ibnu az-Zubair, dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada satu pun dari qira’at sepuluh dan bahkan qira’at tujuh yang masyhur itu terlepas dari syadz, sebab di dalam sepuluh qira’at tersebut masih terdapat juga beberapa syadz sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan qurra’ yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama pada abad ketiga Hijriyah. Bila tidak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada permulaan abad kedua umat islam di Basrah memilih qira’at Ibnu Amr dan Ya’qub. Di Kuffah orang-orang memilih qira’at Hamzah dan Ashim. Di Syam mereka memilih qira’at Ibnu Amr. Sementara di Makkah mereka memilih qira’at Ibnu Katsir. Sedangkan di Madinah mereka memilih qira’at Nafi’. Mereka itulah tujuh imam qari’. Tetapi pada permulaan abad ketiga, Abu Bakar bin Mujahid[3] menetapkan nama al-Kisa’i dan membuang nama Ya’qub dari kelompok tujuh qari’ tersebut.
C.     Macam-Macam Qira’at dan Hukumnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir, ahad dan syadz. Menurut mereka, qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang tujuh. Qira’at ahad ialah tiga qira’at pelengkap menjadi sepuluh qira’at, ditambah qira’at para sahabat, selain itu dinamakn qira’at syadz. Ada yang berpendapat, bahwa kesepuluh qira’at tersebut mutawatir semua. Ada juga yang berpendapat  bahwa yang menjadi pegangan dalam hal ini adalah kaidah-kaidah tentang qira’at yag shahih, baik dalam qira’at tujuh, qira’at sepuluh maupun lainnya.
            Abu Syamah dalam Al-Mursyid Al-Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qira’at yang disandarkan kepada salah satu ahli qira’at dengan menyatakannya sebagai qira’at yang shahih dan seperti itulah qira’at tersebut diturunkan. Lain halnya kalau qira’at tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan sesuai kaidah. Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak seogyanya hanya menukil suatu qira’at yang dikatakannya berasal dari seorang imam tersebut, tanpa menukil qira’at lainnya, atau khusus hanya menukilkan semua qira’at yang berasal dari qurra’ lain. Cara demikian tidak mengeluarkan suatu qira’at dari keshahihannya. Sebab yang menjadi pedoman adalah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-syarat, bukan kepada siapa qira’at itu dinisbatkan, kepada setiap qari’ yang tujuh atau yang lain, sebab ada yang disepakati da nada pula yang dianggap syadz. Hanya saja karena popularitas qari’ yang tujuh dan banyaknya qira’at dan banyaknya qira’at mereka yang telah disepakati keshahihannya, maka jiwa merasa lebih tentram dan cenderung menerima qira’at yang berasal dari mereka melebihi qira’at yang lain.[4]
            Menurut ulama, syarat-syarat qira’at bisa dikatakan shahih adalah sebagai berikut.
1.      Kesesuaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dari satu segi, baik fasih maupun lebih fasih. Sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
2.      Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui.
3.      Qira’at itu isnadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan yang harus diikuti yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari suatu qira’at hanya karena qira’at tersebut itu dianggapmenyimpang dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at bertanggungjawab atas pengingkaran mereka itu.
Itulah beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat tersebut terpenuhi, maka qira’at tersebut dapat dikatakan qira’at yang shahih. Dan sebaliknya jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau batil.
Macam-macam Qira’at
a.       Mutawatir
Mutawatir yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah saw.
b.      Masyhur
Masyhur yaitu yang sanadnya shahih, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Utsmani dan juga terkenal di kalangan para ahli qira’at, sehingga karenanya tidak dikategorikan qira’at yang syadz atau salah. Para ulama menyebutkan bahwa  qira’at yang seperti ini bisa digunakan.
c.       Ahad
Ahad yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi menyalahi rasm Utsmani, menyalahi kaidah bahasa Arab, dan tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur yang telah disebutkan di atas. Qira’at yang semacam ini tidak dapat diamalkan bacaannya.
d.      Syadz
Yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يوم الدين (QS. al-Fatihah:4) dengan bentuk fiil madhi dan menashabkan يوم.
e.       Maudhu’
Yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.
f.       Mudarraj
Yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibnu Abbas,
}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4 فى مواسم الحج !#sŒÎ*sù OçFôÒsùr& ïÆÏiB ;M»sùttã (#rãà2øŒ$$sù ©!$# yYÏã ̍yèô±yJø9$# ÏQ#tysø9$# (
Dari surah al-Baqarah ayat 198 tesebut Ibnu Abbas menyisisipkan kalimat فى مواسم الحج.[5]
Menurut jumhur ulama, qira’at yang tujuh itu mutawatir. Dan yang selain mutawatir, seperti masyhur ini, tidak boleh dibaca di dalam mupun di luar shalat. Begitu juga Dari keempat qira’at yang terakhir tersebut tidak boleh diamalkan bacaannya.
An-Nawawi dalam syarh al-Muhadzdzab berkata “Qira’at syadz tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan al-Qur’an. Al-Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan qira’at syadz tidak termasuk mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah satu atau jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira’at syadz, maka tidak dibenarkan baik di dalam maupun di luar shalat. Para fuqaha Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at syadz maka ia harus bertaubat. Ibnu Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin tentang al-Qur’an yang tidak boleh dibaca dengan qira’at syadz dan tidak sah shalatnya orang yang makmum denganorang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at syadz”
Faedah keberagaman dalam qira’at yang shahih
Dari beberapa ragam qira’at shahih yang telah disebutkan di atas mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya sebagai berikut.
1.      Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan, padahal Kitab Allah mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2.      Meringankan umat islam dan memudahkan mereka dalam membaca al-Qur’an.
3.      Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna ijaznya, karena setiap qira’at menunjukkan suatu hukum syariat tertentu tanpa pelu mengulangi lafadz.
4.      Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih bersifat global dalam qira’at lain.

II.    Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan al-Qur’an yang dipakai oleh seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya. Ada tujuh imam qira’at yang terkenal sebagai ahli qira’at diseluruh penjuru dunia ialah Abu Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, al-Kisa’I, Ibnu Amir dan Ibnu Katsir.
Daftar Pustaka
Al-Aqqad, al-Falsafah al-Qur’aniyah
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an
Ismail al-Baghdadi, Hidayah al-‘Arifin
Al-Baqilani I’jaz al-Qur’an
Musthafa Shadiq ar-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an




[1] Qurra’ adalah jamak dari qari’, yang artinya orang yang membaca. Qari’ atau qurra’ ini sudah menjadi suatu istilah baku dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an, maksudnya yaitu seorang ulama’ atau imam yang terkenal mempunyai madzhab tertentu dalam suatu qira’ah yang mutawatir. Qurra’ bisa juga diartikan secara mudah sebagai para imam qira’at.
[2] Lihat al-Itqan, 1/72-73
[3] Ia adalah guru qira’at penduduk Iraq dan salah seorang yang menguasai qira’at, wafat 334 H
[4] Lihat al-Itqan, 1/75
[5] HR. Bukhori


Wallahu a'lam... Semoga bermanfaat...