I.
Pendahuluan
Al-Quran
diturunkan Allah dalam bentuk lisan (bukan tertulis). Karena Rasulullah
tidak bisa membaca dan menulis, maka Rasul hanya mendengarkan secara seksama
wahyu yang diturunkan lewat malaikat Jibril, lalu beliau hafal dan menyampaikan
kembali wahyu Allah kepada para sahabatnya saat salat, mengajar dan menyemangati
para sahabat untuk mempelajari dan menghafalkannya dengan menyebutkan hadist
yang berbunyi sebaik-baiknya orang adalah yang mempelajari Al-Quran dan
menyampaikannya, serta meminta para sahabat yang bisa membaca dan menulis untuk
menuliskannya.
II.
Pembahasan
A. Penulisan
Al-Qur’an
1.
Tahap Pertama
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat
dirindukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad saw.
terhadap kedatangan wahyu tidak sengaja diekspresikan dalam bentuk hafalan,
tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa
Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara :
Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi
Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan
berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang dan berbagai tempat
lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga
melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
Zaman Nabi Muhammad saw.
Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran
pada tulisan, karena hafalan
para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya
orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari
kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau
menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit,
permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an
sangat banyak
Dalam kitab Shahih Bukhari
dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan
dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di
dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak
para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud,
Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn
Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.[1]
2.
Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas
Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan
Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah
seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.
Saat Perang Yamamah (perang melawan nabi palsu, Musailamah
Alkahzab) di mana banyak para penghafal Al Quran wafat, Umar bin Khatab
khawatir jika para penghafal banyak yang wafat maka Al-Quran tidak bisa
diwariskan kepada generasi selanjutnya. Maka ia mengajukan usul penulisan
seluruh ayat Al-Quran dalam satu buku,karena pada saat itu tidak ada satu
sahabat pun yang mempunyai catatan semua ayat Al-Quran secara lengkap. Lalu ditunjuklah Zaid bin
Tsabit sebagai ketua kodifikasi Al-Quran. Zaid dipilih karena ia lah pembaca
Al-Quran terbaik, hafal semua ayat Quran, yang diminta oleh Rasul untuk
menuliskan ayat Quran dan ia lah yang selalu hadir saat Rasul membaca seluruh
ayat Al-Quran pada Ramadhan terakhir Rasulullah.
Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan
Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri disebutkan, bahwa Umar
Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu
‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya
karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai
Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia
lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar,
Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang
masih muda dan berakal cemerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah
menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang
carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan
mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari
hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia
wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh
Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara
panjang lebar.[2]
Kaum muslimin saat itu
seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap
perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali
Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar
pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali
mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3.
Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun
dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek
bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan
para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah,
maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf
tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya
kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah
belah.
Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap
penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin
‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan
salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam,
mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu.
Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah
dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula
penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Pada masa
pemeintahan Ustman bin Affan, Islam telah menyebar ke berbagai negeri, seperti
Kufah (Iraq), Byzantium, Syria, dll. Karena Al-Quran yang dibacakan oleh
Rasulullah terdiri dari 7 dialek, yaitu dialek suku Quraisy, Huzail, Tsaqif,
Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yemen. Pada saat itu juga banyak orang Arab yang
bangga dan merasa superior dengan dialeknya masing-masing, maka hal ini
menimbulkan kekhawatiran terjadinya perpecahan. Terlebih lagi banyak mualaf,
terutama yang dari luar Arab, yang ketika salah membaca Qur’an tidak bisa
dideteksi kesalahannya: apakah memang karena salah baca atau apa karena baca
dengan salah satu dari 7 dialek.
Seorang
sahabat bernama Huzaifah bin al Yaman ketika ia berada di Iraq menyadari
masalah ini. Ia khawatir akan terjadi perpecahan dan Al-Qur’an akan berubah.
Lalu ia lapor kepada Khalifah Ustman bin Affan. Lalu Ustman membentuk tim yang
juga diketuai oleh Zaid bin Tsabit dengan anggota 4 ahli Qur’an lalu menuliskan
kembali Al-Qur’an dari mushaf yang ditulis pada jaman Abu Bakar yang saat itu
disimpan oleh Hafsah, putri Umar bin Khatab dan juga istri Rasulullah, ke dalam
dialek suku Quraisy yang merupakan dialek yang paling bagus. Lalu tim ini
menulis 7 salinan Al-Qur’an yang disebut Mushaf Ustman yang disebarkan ke 7
wilayah, yaitu: Madinah (ibu kota), Makkah, Syria, Basrah, Kufah, Yemen,
Bahrayn. Ustman juga mengirim seorang ahli Qur’an dengan salinan Al-Qur’an
tersebut ke wilayah-wilayah tersebut. Lalu ia memerinthkan untuk membakar semua
kopi Al-Qur’an selain 7 salinan tersebut. Selanjutnya semua salinan Al-Qur’an berasal
dari 7 salinan Mushaf Ustmani.
Dalam kitab Shahih Bukhari
disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap
Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan
Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan
Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum
mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan
kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah
Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar
kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan
kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.
Kemudian Utsman memerintahkan
Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul
Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan
memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga
orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya :
“Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat
Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan
dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai,
Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan
tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar
naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.[3]
Utsman Radhiyallahu ‘anhu
melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu
‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali
Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang
melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta
pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita
mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi
perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.[4]
Mush’ab Ibn Sa’ad mengatakan :
“Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada,
merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari
mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul
Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin
seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan
Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq
Radhiyallahu ‘anhu.[5]
Perbedaan antara pengumpulan
yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu
anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah
menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf
agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu
pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan
dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu
mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan tujuan dari
pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan
dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan
membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya
pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya
kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya :
Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang.
Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah :
Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan
permusuhan.
Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh
seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh
anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor
para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang
menyeleweng.
III. Kesimpulan
Dari
Keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa proses
penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka masih
menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma,
tulang belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi
Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi
Muhammad SAW.
Pada masa Utsman Ibn Affan Radhiyallahu
‘anhu, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan
dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak
memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu
qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa
kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Karena itu
penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Daftar
Pustaka
Manna Khalil Al-Qattan, (2011). Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
M. Amrullah, (2010). Sejarah Kodifikasi
Al-Qur’an. Diakses Pada Oktober 8, 2011, dari Scribd:http://www.scribd.com
Rosihon Anwar, (2010). Ulum Al-Qur’an. Bandung:
Pustaka Setia.
Wikipedia. (2011). Al-Qur’an. Diakses
Pada Oktober 8, 2011, Dari Wikipedia, Ensiklopedia Bebas:http://id.wikipedia.org
[1]
Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor
3064
[2]
Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum
Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3] Diriwayatkan oleh Bukhari,
Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4] Diriwayatkan oleh
Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954,
dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya
Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if
(Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
[5] Diriwayatklan oleh Abu
Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12
Wallahu a'lam... Semoga bermanfaat...
Wallahu a'lam... Semoga bermanfaat...